Konversi Dayak Salako Menjadi Melayu (Sambas)
misterpangalayo.com - Bila mendengar kata SAMBAS, kebanyakan orang di luar SAMBAS hanya mengenal akan satu sub etnis Melayu saja. Dan bisa dikatakan Kabupaten Sambas diidentik dengan sub suku Melayu Sambas. Padahal tidak banyak yang tahu akan nilai histori dan sejarah-sejarah serta asal usul suku Sambas (Melayu Sambas). Disini saya akan memberikan sedikit informasi ringan tentang sebagian Orang Salako (Dirik Sabaya) yang memeluk Islam sehingga menamakan komunitas mereka dengan Melayu Sambas. Harapan saya, semoga tulisan ini bisa bermanfaat walau jauh dari kata sempurna.
Pada awalnya Sambas bukanlah nama suku, tapi merupakan nama sebuah tempat/wilayah dan nama Kerajaan yang berdiri di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau atau yang lebih dikenal dengan Muara Ulakan.
Berdasarkan kajian dengan pendekatan sejarah, asal usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah hasil asimilasi beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang sekarang disebut Melayu Sambas, yang terdiri dari asimilasi dari Orang Melayu (yang datang dari Sumatera, Sarawak, Brunei dan Semenanjung Malaya sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal Kerajaan Sriwijaya), Bangsawan Majapahit (Jawa) di Kota Lama, Orang China dari Daratan Tiongkok yang melakukan perkawinan silang dengan pribumi, Orang Dayak (Old Kanayatn / Kendayan) yang merupakan penduduk lebih awal yang secara turun temurun sebelumnya telah mendiami pesisir pantai Sambas, aliran Sungai Sambas dan percabangannya.
Sejarah sangat penting untuk digali agar bisa menghindari provokasi-provokasi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya ingin memecah belah Bumi Kalimantan Barat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Kalimantan Barat (Kalbar) mempunyai sejarah konflik yang cukup menggemparkan dan dramatis. Hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kurangnya wawasan dalam menjalani kehidupan.
Akan tetapi, sekarang masyarakat Kalbar sudah cukup belajar dari pengalaman masa lampau. Dewasa ini, masyarakat Kalbar sudah mengetahui pentingnya pendidikan sehingga sebagian besar masyarakat berlomba untuk mengejar pengetahuan. Masih banyak misteri di Tanah Pusaka Pulau Borneo terutama asal usul Melayu Sambas di Kalbar. Kurangnya catatan sejarah membuat kabur jejak-jejak nenek moyang di tanah borneo ini. Berangkat dari ketidaktahuan dan kebingungan penulis mencoba sedikit menguraikan perjalanan Suku Melayu Sambas ini, selanjut tinggal pemahaman dan wawasan pembaca yang memutuskannya.
Dayak Salako (dalam bahasa melayu: Selakau) adalah sekelompok subsuku Dayak yang bermukim di kawasan Perbatasan Kalimantan Barat, Indonesia dengan Sarawak Malaysia. Letak pemukiman masyarakat Salako berada di dataran-dataran tinggi, yaitu di kawasan perbukitan yang memanjang dari ujung pulau dekat laut (Paloh) di daerah Kampung Bamatn sampai ke Kampung Sajingan yang langsung berbatasan dengan Kampung Biawak daerah Lundu-Malaysia Barat. Dataran tinggi yang memanjang dari Kampung Bamatn (Sunge Baning) sampai ke Kampung Sajingan besar ini disebut Pegunungan Poe. Pegunungan Poe menjadi batas langsung antara Indonesia dan Malaysia.
Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang berbudaya melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Mempawah, Kepualauan Riau, dan Sarawak. Suku Melayu Sambas terkadang juga disebut Suku Sambas, tetapi penamaan tersebut jarang digunakan oleh masyarakat setempat.
Secara linguistik Suku Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak Melayik yang dituturkan oleh 3 suku Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).
Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang berbudaya melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Mempawah, Kepualauan Riau, dan Sarawak. Suku Melayu Sambas terkadang juga disebut Suku Sambas, tetapi penamaan tersebut jarang digunakan oleh masyarakat setempat.
Secara linguistik Suku Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak Melayik yang dituturkan oleh 3 suku Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).
PENYEBARAN DAYAK SALAKO
Dayak Salako diyakini berasal dari daerah Aliran Sungai Salako / Selakau (sekarang nama Kecamatan di Kabupaten Sambas). Keyakinan ini selain berasal dari penelitian Simon Takdir (2006) , juga dari hasil wawancara penulis dengan sejumlah informan baik yang berasal dari Sasak, Biawak (Malaysia), Lundu dan Paon. Semua informan dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Sarinokng (muara sungai Selako).
Dayak Salako diyakini berasal dari daerah Aliran Sungai Salako / Selakau (sekarang nama Kecamatan di Kabupaten Sambas). Keyakinan ini selain berasal dari penelitian Simon Takdir (2006) , juga dari hasil wawancara penulis dengan sejumlah informan baik yang berasal dari Sasak, Biawak (Malaysia), Lundu dan Paon. Semua informan dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Sarinokng (muara sungai Selako).
Tempat ini sekarang dikenal sebagai Selakau Tua (Salako Tuha). Bukti adanya pemukiman di daerah Sarinokng ini diperoleh dari cerita lisan yang selalu disampaikan oleh cerita oranng tua secara turun-temurun. Selain itu disekitar daerah ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu yang sudah tidak terurus, pecah-pecahan keramik yang tersebar dilokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat. Tambahan pula, dilokasi bukit Sarinokng ini ditemukan sebuah Nekara pada bulan Mei 1991 yang kini di simpan di Museum Negri Pontianak.
Menurut Simon Takdir (2006,…) Setelah beberapa lama tinggal di Sarinokng dan Pulo Nangko, beberapa orang dari mereka berusaha pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, atas kemauan sendiri karena lokasi ladang yang sudah terbatas, ada juga yang karena konflik dalam komunitas hasil pengaruh luar. Sejumlah informan di lokasi ini mengatakan bahwa orang Dayak tinggal disini sekitar 6-7 generasi . Hal ini diperkuat dengan adanya keramat dilokasi ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang.
Dari Sarinokng ini ada kelompok yang pindah ke Pemangkat. Kelompok ini dipimpin oleh Ne’ Mangkat. Menurut cerita Pemangkat berasal dari nama pemimpin kelompok ini . kelompok inilah yang pertama kali membuka daerah pemangkat sekarang . Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah dengan menulusuri sungai Sabangko hingga ke daerah yang sekarang disebut Paranyo (dalam bahasa Melayu: Pelanjau).Mereka mendirikan bantang (Rumah panjang) mereka di sini.
Kelompok lainnya mudik ke hulu melalui sungai Bantanan, mereka berdiam di Tabing Daya (17 km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar dengan mudik lagi di Kuta lama ( dekat pasar Galing sekarang), selanjutnya ada yang mudik lagi ke Jaranang (sungai ano sekarang), terus mudik lagi di Bapantang Batu Itapm, di Batu Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang .
Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24 kampung dengan populasi 9558 jiwa (JKKP, Desember 2007). Umumnya informan di Biawak, Rukapm dan Paon yang penulis wawancarai mengetahui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Indonesia tepatnya Batu Itapm di Kecamatan Sajingan Besar sekarang . Di Malaysia, Dayak Salako dimasukan ke dalam rumpun Dayak Bidayuh.
Di setiap tempat yang didiami, paling kurang nenek moyang orang Selako tinggal sekitar 3 sampai 4 generasi sebelum ada yang bermigrasi . Penulis juga memiliki keyakinan bahwa generasi yang bertahan di Sarinokng, Tabing Daya dan Kuta Lama telah memeluk agama Islam dan menyebut dirinya Malayu. Keyakinan penulis ini berasal dari temuan bahwa sejumlah informan tua (70an tahun) didaerah ini walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang Darat (Dayak red), bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat (Dayak red).
Setiap pemukiman Dayak Salako yang ada di Kabupaten Sambas, dan mereka yang menetap dan tidak melanjutkan migrasi, mereka berkonversi menjadi Islam dan kemudian menamakan dirinya sebagai Melayu Sambas.
Dikatakan bahwa suku Sambas (Melayu Sambas) awalnya adalah berasal dari keturunan orang-orang dayak setempat yang telah mengalami proses islamisasi, dan melepaskan identitas ke"dayak"annya. Proses islamisasi ini terjadi akibatnya masuknya agama Islam yang dibawa oleh orang-orang Melayu dengan membawa bahasa Melayu yang akhirnya berasimilasi dengan bahasa-bahasa setempat, sehingga terbentuklah bahasa Sambas / bahasa Melayu Dialek Sambas seperti sekarang ini.
Dikatakan bahwa suku Sambas (Melayu Sambas) awalnya adalah berasal dari keturunan orang-orang dayak setempat yang telah mengalami proses islamisasi, dan melepaskan identitas ke"dayak"annya. Proses islamisasi ini terjadi akibatnya masuknya agama Islam yang dibawa oleh orang-orang Melayu dengan membawa bahasa Melayu yang akhirnya berasimilasi dengan bahasa-bahasa setempat, sehingga terbentuklah bahasa Sambas / bahasa Melayu Dialek Sambas seperti sekarang ini.
Tentang perubahan dialeg bahasa ini, kemungkinan disebabkan oleh adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah. Bennett (1976;247) melihat bahwa adaptasi merupakan perilaku responsive manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata system-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun sosial (Alland, Jr, 1975; Alland, Jr dan McCay, 1973; Moran, 1982, 1983).
Sebagai suatu proses mengatasi suatu perubahan, hal ini dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu, strategi adaptasi merupakan suatu system interaksi yang terus-menerus antara manusia serta antara manusia dengan ekosistemnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 76-77; Abdoellah, 1997:51-53).
Konfigurasi dan Streoptif Antar Etnik
Sebelum dan selama masa kolonial Belanda, Sambas dan Pontianak merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah kolonial Belanda & Jepang. Orang Salako adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan kesultanan ini.
Awalnya jumlah penduduk diwilayah ”kesultanan” masih sangat sedikit, namun seiring dengan semakin banyaknya Orang Salako yang berkonversi menjadi Islam diwilayah kesultanan, disamping migrasi orang Islam dari daerah lain dan melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai ”Melayu” (Iqbal;2004;14).
Mengimbangi islamisasi ini, pemerintah kolonial memberi kesempatan para misionaris Katolik untuk masuk dan mendirikan sekolah-sekolah di wilayah Orang Salako (Raba, Salako/Selakau, Sabiris/Capkala, Nyarumkop dan dibeberapa tempat lainnya), dan kulminasinya pada paruh kedua abad 21, Orang Salako makin banyak yang justru beralih menjadi Katolik dan Protestan. Berbeda dengan koversi agama sebelumnya, dengan menjadi Kristen, mereka tetap tidak kehilangan identitas etnik awalnya (Moh. Iqbal;2004;16). Meskipun demikian, mayoritas Orang Salako masih tetap tinggal di pedalaman dan Melayu tetap tinggal di sekitar pesisir.
Demikian informasi ringan yang dapat saya sampaikan, walaupun jauh dari kata sempurna. Akan tetapi, besar harapan saya setidaknya bisa memberi sedikit gambaran tentang sejarah Melayu Sambas di Binua Sambas. Sebagai generasi muda, masih banyak yang perlu kita gali dan mencari kebenaran yang hakiki.
Diharapkan juga
kedepannya Pemprov atau Pemkab bisa proaktif dalam mengembangkan Budaya dan melestarikan Tradisi dan dapat mengambil suatu langkah bijaksana untuk
menjawab semua pertanyaan yang ada di benak masyarakat. Mungkin
menerbitkan sebuah buku setelah melakukan seminar-seminar sejarah dan
melakukan pecegahan penipun sejarah.
(referensi: kristianus atok, wikipedia, irwan)
Makasih infonye bang
BalasHapusMakasih infonye bang
BalasHapusKembali kasih
Hapuspendapat dari simon takdir tahun 2006 itu sumbernya di dapat dr mana ya? mau saya jadikan acuan utk bahan tesis saya. bisa berbagi info?
BalasHapusutk referensi online beliau, bisa berkunjung ke simontakdirDotblogspotDotCom ... buku silahkan berkunjung perpustakaan daerah KALBAR, moga nemu ya mba
Hapus