CERITA RAKYAT SAMBAS: Hikayat Datok Gulong Bidai
misterpangalayo.com - Cerita lisan lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Cerita lisan bersifat anonim sehingga sulit untuk diketahui sumber aslinya serta tidak memiliki bentuk yang tetap. Cerita lisan sebagian besar dimiliki oleh masyarakat tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menggalang rasa kesetiakawanan dan alat untuk memperkuat nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagai produk sosial cerita lisan mempunyai kesatuan dinamis yang bermakna sebagai nilai dan peristiwa pada jamannya (Goldman, dalam Sapardi Djoko Darmono, 1984: 42).
Negeri Sambas memiliki kekayaan warisan budaya yang sangat beragam, salah satunya adalah sastra lisan. Sastra lisan adalah kesustraan yang mencakup ekspersi kesustraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) (Hutomo, 1991:1) Jadi segala kebudayaan yang dituturkan secara lisan dan diwariskan dengan metode lisan termasuk dalam kajian sastra lisan, seperti cerita rakyat.
Tulisan saya kali ini adalah menceritakan kembali sebuah cerita rakyat saat ini masih berkembang di tengah-tengah masyarakat di Dusun Sekabau Desa Pangkalan Kuala, Kecamatan Teluk Keramat. Judulnya adalah Hikayat Datok Gulong Bidai.
Saya garis bawahi bahwa, tulisan di artikel ini telah saya edit seperlunya demi kenyaman dalam membaca dan memahami alur ceritanya. Tulisan ini sebelumnya pernah di pos oleh Riko Saputra dengan judul Datok Gulong Bidai.
Ini cerita singkatnya:
Dahulu kala di wilayah pantai utara Kalimantan Barat (sekarang Kabupaten Sambas), berdiri sebuah kerajaan yang bernama Panembahan Sambas atau yang biasa dikenal dengan Panembahan Ratu Sepudak pada awal abad ke 16 Masehi. Kerajaan ini berada di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan "Kota Lama" dan secara administratif berada di Kecamatan Galing.
Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yaitu Pangeran Adipati Sambas.
Panembahan Sambas sangat strategis sehingga wilayah kekuasaannya sangat aman dan kondusif. Tanah yang subur, banyak aliran sungai, dan berdiri sebuah gunung yang eksotis yaitu Gunung Senujuh sekitar 4 km dari lokasi keraton. Pada pemerintahan Ratu Sepudak, hidup seorang bangsawan kerajaan yang dikenal dengan Datok Gulong atau Datok Gulong Bidai.
Singkat cerita, asal muasal gelaran Datok Gulong Bidai karena Sang Datok sering menjemur uang milik Sang Raja dengan menggunakan tikar bidai (bahasa melayu sambas: belungkor). Tikar bidai / belungkor adalah sebuah tikar yang terbuat dari anyaman daun. Dan sejak saat itu nama sang Datuk hingga saat ini melegenda namanya.
Di Panembahan Ratu Sepudak, Datok Gulong Bidai menjabat sebagai bendahara kerajaan dan tugasnya sudah pasti menjaga uang negara dan disisi lain menjaga bentuk fisik uang-uang milik raja, serta menyimpannya dengan baik. Terlebih lagi, uang milik raja tidak boleh sampai berkarat atau berjamur. Maka dari itu Datok selalu menjemur uang raja menggunakan tikar bidai.
Uang yang beredar di wilayah kerajaan Panembahan Sambas semua terbuat dari bahan logam. Apabila disimpan di dalam peti dalam jangka yang lama, alhasil uang akan karatan dikarenakan kelembaban udara di dalam peti tersebut, dan uang pun selalu di jemur untuk menjaga bentuknya.
Di masa hidupnya , Datok Gulong Bidai selalu berpergian dengan menggunakan kapal untuk urusan dalam dan luar negeri. Pada suatu hari, kapal Datok Gulong Bidai merapat di sebuah teluk yang sangat luas dan dalam. Daerah tersebut dinamakan Teluk Tandang, yang mana berasal dari kata bertandang (singgah), dimana pada masa itu merupakan tempat transit kapal-kapal yang ingin berlayar ke berbagai tempat yang ada di wilayah Sambas dan sekitarnya. Sehingga membuat daerah Teluk Tandang menjadi ramai penduduk dengan wilayahnya yang sangat luas.
Datok Gulong pernah tinggal di daerah Teluk Tandang yang jaraknya berseberangan dengan Kota Lama yang notebane-nya sebagai pusat pemerintahan Panembahan Sambas sehingga membuat rumah singgah dan menetap untuk sementara waktu.
Hingga akhir hayatnya, Datok Gulong dimakamkan di Teluk Tandang. Tak jauh dari makam Datok Gulong Tikar terdapat bangkai kapal yang sudah tertimbun tanah. Apabila ada yanga berani mengambil atau merusak bangkai kapal, masyarakat setempat percaya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti sakit dan gelisah hingga susah tidur. Sampai saat ini makam dan bangkai kapal masih bisa dijumpai dan berada di tengah ladang milik masyarakat setempat.
Dewasa ini, daerah Teluk Tandang berada di dusun Sekabau Desa Pangkalan Kuala, Kecamatan Teluk Keramat. Hingga saat ini, daerah ini tumbuh menjadi daerah yang ramai penduduknya.
Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yaitu Pangeran Adipati Sambas.
Panembahan Sambas sangat strategis sehingga wilayah kekuasaannya sangat aman dan kondusif. Tanah yang subur, banyak aliran sungai, dan berdiri sebuah gunung yang eksotis yaitu Gunung Senujuh sekitar 4 km dari lokasi keraton. Pada pemerintahan Ratu Sepudak, hidup seorang bangsawan kerajaan yang dikenal dengan Datok Gulong atau Datok Gulong Bidai.
Singkat cerita, asal muasal gelaran Datok Gulong Bidai karena Sang Datok sering menjemur uang milik Sang Raja dengan menggunakan tikar bidai (bahasa melayu sambas: belungkor). Tikar bidai / belungkor adalah sebuah tikar yang terbuat dari anyaman daun. Dan sejak saat itu nama sang Datuk hingga saat ini melegenda namanya.
Di Panembahan Ratu Sepudak, Datok Gulong Bidai menjabat sebagai bendahara kerajaan dan tugasnya sudah pasti menjaga uang negara dan disisi lain menjaga bentuk fisik uang-uang milik raja, serta menyimpannya dengan baik. Terlebih lagi, uang milik raja tidak boleh sampai berkarat atau berjamur. Maka dari itu Datok selalu menjemur uang raja menggunakan tikar bidai.
Uang yang beredar di wilayah kerajaan Panembahan Sambas semua terbuat dari bahan logam. Apabila disimpan di dalam peti dalam jangka yang lama, alhasil uang akan karatan dikarenakan kelembaban udara di dalam peti tersebut, dan uang pun selalu di jemur untuk menjaga bentuknya.
Di masa hidupnya , Datok Gulong Bidai selalu berpergian dengan menggunakan kapal untuk urusan dalam dan luar negeri. Pada suatu hari, kapal Datok Gulong Bidai merapat di sebuah teluk yang sangat luas dan dalam. Daerah tersebut dinamakan Teluk Tandang, yang mana berasal dari kata bertandang (singgah), dimana pada masa itu merupakan tempat transit kapal-kapal yang ingin berlayar ke berbagai tempat yang ada di wilayah Sambas dan sekitarnya. Sehingga membuat daerah Teluk Tandang menjadi ramai penduduk dengan wilayahnya yang sangat luas.
Datok Gulong pernah tinggal di daerah Teluk Tandang yang jaraknya berseberangan dengan Kota Lama yang notebane-nya sebagai pusat pemerintahan Panembahan Sambas sehingga membuat rumah singgah dan menetap untuk sementara waktu.
Hingga akhir hayatnya, Datok Gulong dimakamkan di Teluk Tandang. Tak jauh dari makam Datok Gulong Tikar terdapat bangkai kapal yang sudah tertimbun tanah. Apabila ada yanga berani mengambil atau merusak bangkai kapal, masyarakat setempat percaya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti sakit dan gelisah hingga susah tidur. Sampai saat ini makam dan bangkai kapal masih bisa dijumpai dan berada di tengah ladang milik masyarakat setempat.
Dewasa ini, daerah Teluk Tandang berada di dusun Sekabau Desa Pangkalan Kuala, Kecamatan Teluk Keramat. Hingga saat ini, daerah ini tumbuh menjadi daerah yang ramai penduduknya.
Keturunan TAN itu keturunan anak² dr NEK riuh kah
BalasHapus