Tradisi Buang Abu Pada Masyarakat Sambas Yang Terancam Dimakan Zaman
misterpangalayo.com - Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam dan budaya, serta terdapat ratusan suku yang tersebar di bumi Indonesia. Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang berbudaya melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Mempawah - Kalimantan Barat.
Di Kabupaten Sambas, banyak tradisi dan budaya yang berkembang secara turun-temurun. Nenek moyang masyarakat Sambas sangat memegang teguh adat dan istiadat dari zaman Hindu hingga masuknya agama Islam di tengah masyarakat Sambas. Sayang, dari tahun ke tahun seiring dengan bertumbuhnya perkembangan gaya hidup dan teknologi, kebudayaan asli masyarakat Sambas terancam ditelan zaman. Salah satu tradisi yang sudah mulai terancam keberadaannya adalah Tradisi Buang Abu.
Tradisi Buang Abu adalah sebuah ritual "pensucian orang yang disunat / dikhitan" setelah 3 (tiga) hari sunatan. Dalam masyarakat Sambas, tradisi ini dilakukan dalam rangka syukuran telah beralihnya orang yang dikhitan / disunat dari anak-anak menuju jenjang remaja. Hal ini juga bertujuan untuk mempererat ikatan silaturahmi antar masyarakat dan juga melestarikan cara musyawarah.
Pada zaman dahulu, masyarakat Sambas melakukan ritual Tradisi Buang Abu setelah tiga hari sunatan / khitanan. Ritual ini dilakukan setelah melakukan penyunatan, orang yang telah dikhitan / disunat harus mendekatkan kemaluannya ke sebuah wadah yang berisikan ABU DAPUR (material yang umumnya berupa bubuk sisa pembakaran kayu). Hal ini dilakukan untuk menampung darah bekas melakukan khitan, karena orang dahulu berkhitan tidak memiliki alat yang maju seperti sekarang ini.
Apabila kondisi kemaluan orang yang disunat / dikhitan mengalami pendarahan, maka darah itu harus di masukkan ke dalam wadah yang berisi abu tersebut agar dapat menghilangkan aroma bau darah. Masyarakat Sambas percaya akan hal-hal yang berbau mistis, konon apabila darah diletakkan ke tempat yang sembarangan, maka aroma darah tersebut akan menyebar kemana-mana dan mengundang makhluk halus untuk mendatanginya. Jadi pada saat darah itu berhenti maka ABU tersebut akan di buang. Jadi itulah yang dinamakan BUANG ABU.
Dewasa ini, Tradisi Buang Abu telah berubah dan tidak lagi ada hubungannya dengan namanya sendiri. Beriring berkembangnya zaman, tradisi ini dimodifikasi sehingga yang kita temukan sekarang berbeda dengan tradisi buang abu yang dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu.
Tahapan-tahapan Ritual Tradisi Buang Abu Pada Masyarakat Sambas
1. NYARROK (nyaru'/saru')
Saru' / Saro' adalah salah satu kata dari bahasa Sambas yang berarti memanggil dan orang yang melakukan kegiatan ini disebut Nyarrok. Sehingga pengertian Nyarrok adalah orang yang bertugas mengundang atau mengajak orang-orang untuk menghadiri hajatan, biasanya dilakukan dengan mendatangi satu per satu rumah yang ingin di saru' (diundang).
2. BEPAPAS (bapapas)
Dalam acara bepapas ini, pertama: digunakan tepung beras (kasai), langger dan dicampur dengan air tolak bala. Kemudian dimasukkan kedalam tempurung kelapa.
Kedua: daun enjuang (nyuang), daun imbali (moli) dan daun ribu diikat menjadi satu sebagai alat pemapas. Kemudian daun-daun tadi dicelupkan kedalam tempurung yang berisi tepung beras (kasai), langger dan air tolak bala.
Sebelum bepapas, orang yang dikhitan / disunat harus membersihkan diri terlebih dahulu. Proses pemandian atau memandikan orang yang dikhitan / disunat di atas sebuah kelapa tua yang telah bertunas dengan ramuan kasai yang berfungsi sebagai sabun. Kasai terbuat dari beras yang direndam kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk bersamaan ‘langger’ yang membentuk tepungan kasar basah yang akan dibalur di sekujur tubuh anak layaknya pemakaian sabun pada orang mandi biasa.
Proses ini dilakukan sesaat sebelum warga sekitar yang diundang (di saru') datang untuk menghadiri jamuan makan tuan rumah. Sebelum tamu menyantap jamuan tuan rumah, terlebih dahulu diadakan ritual ‘bepapas’, ritual ini adalah ritual buang sial, tamu yang datang juga dapat mengikuti ritual bepapas.
3. PENJAMUAN
Setelah ritual bepapas selesai, para tamu dipersilahkan untuk menyantap jamuan yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Penjamuan ini dilakukan dengan cara saprahan, sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan duduk satu kebersamaan.
Makna bersaprah yang disantap oleh 6 (enam) orang setiap saprahannya diartikan dengan rukun Iman, dan lauk-pauknya yang dihidangkan biasanya 5 (lima) piring diartikan rukun Islam. Sebenarnya tidak ada perbedaan menu masakan untuk sajian saprahan antara rakyat biasa dengan pemimpin, semuanya sama saja.
Dalam tradisi budaya makan saprahan terkandung nilai-nilai filosofi yakni adanya kebersamaan dan rasa kekeluargaan. Penyajian makanan dengan cara saprahan juga sebagai salah satu pendidikan etika. Sajian yang dihidangkan bukanlah nasi lengkap beserta lauk pauk, melainkan kue-kue khas Melayu. Kue-kue yang sering penulis temukan adalah ketupat dan bubur aya'.
4. BERDOA (Doa selamat dan Doa Tolak Bala)
Setelah selesai penjamuan, tamu undangan dan tuan rumah melakukan doa bersama yang di pimpin oleh pemuka agama di kampung atau biasa di sebut Pak Labbai. Hal ini dilakukan untuk keselamatan orang yang dikhitan dan para tamu undangan yang hadir.
1. NYARROK (nyaru'/saru')
Saru' / Saro' adalah salah satu kata dari bahasa Sambas yang berarti memanggil dan orang yang melakukan kegiatan ini disebut Nyarrok. Sehingga pengertian Nyarrok adalah orang yang bertugas mengundang atau mengajak orang-orang untuk menghadiri hajatan, biasanya dilakukan dengan mendatangi satu per satu rumah yang ingin di saru' (diundang).
sumber gambar : www.tanjungpinangpos.co.id |
Dalam acara bepapas ini, pertama: digunakan tepung beras (kasai), langger dan dicampur dengan air tolak bala. Kemudian dimasukkan kedalam tempurung kelapa.
Kedua: daun enjuang (nyuang), daun imbali (moli) dan daun ribu diikat menjadi satu sebagai alat pemapas. Kemudian daun-daun tadi dicelupkan kedalam tempurung yang berisi tepung beras (kasai), langger dan air tolak bala.
Sebelum bepapas, orang yang dikhitan / disunat harus membersihkan diri terlebih dahulu. Proses pemandian atau memandikan orang yang dikhitan / disunat di atas sebuah kelapa tua yang telah bertunas dengan ramuan kasai yang berfungsi sebagai sabun. Kasai terbuat dari beras yang direndam kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk bersamaan ‘langger’ yang membentuk tepungan kasar basah yang akan dibalur di sekujur tubuh anak layaknya pemakaian sabun pada orang mandi biasa.
Proses ini dilakukan sesaat sebelum warga sekitar yang diundang (di saru') datang untuk menghadiri jamuan makan tuan rumah. Sebelum tamu menyantap jamuan tuan rumah, terlebih dahulu diadakan ritual ‘bepapas’, ritual ini adalah ritual buang sial, tamu yang datang juga dapat mengikuti ritual bepapas.
sumber gambar : gramosphere.com |
3. PENJAMUAN
Setelah ritual bepapas selesai, para tamu dipersilahkan untuk menyantap jamuan yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Penjamuan ini dilakukan dengan cara saprahan, sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan duduk satu kebersamaan.
Makna bersaprah yang disantap oleh 6 (enam) orang setiap saprahannya diartikan dengan rukun Iman, dan lauk-pauknya yang dihidangkan biasanya 5 (lima) piring diartikan rukun Islam. Sebenarnya tidak ada perbedaan menu masakan untuk sajian saprahan antara rakyat biasa dengan pemimpin, semuanya sama saja.
Dalam tradisi budaya makan saprahan terkandung nilai-nilai filosofi yakni adanya kebersamaan dan rasa kekeluargaan. Penyajian makanan dengan cara saprahan juga sebagai salah satu pendidikan etika. Sajian yang dihidangkan bukanlah nasi lengkap beserta lauk pauk, melainkan kue-kue khas Melayu. Kue-kue yang sering penulis temukan adalah ketupat dan bubur aya'.
sumber gambar : dokumentasi pribadi |
4. BERDOA (Doa selamat dan Doa Tolak Bala)
Setelah selesai penjamuan, tamu undangan dan tuan rumah melakukan doa bersama yang di pimpin oleh pemuka agama di kampung atau biasa di sebut Pak Labbai. Hal ini dilakukan untuk keselamatan orang yang dikhitan dan para tamu undangan yang hadir.
sumber gambar : www.cemaru.com |
Semoga artikel yang saya posting kali ini dapat menambah wawasan terkait adat dan budaya Sambas. Sebagai generasi muda, kita setidaknya harus mengetahui adat dan tradisi yang berkembang di tengah-tengah kita. Namun inilah tradisi, bersamaan dengan pengaruh arus modernisasi membuat masyarakat semakin meninggalkannya dan membuat tradisi buang abu semakin terkikis zaman.
Mudah-mudahan artikel singkat ini bisa merekam bahwa dulu pernah ada ritual semacam ini yang hidup dalam masyarakat Melayu Sambas. Tak Kan Hilang Budaya Melayu Dimakan Zaman.
ref:
Yantronika, Nanda. (2015). Adat Istiadat Budaya Sambas (Buang Abu). [Online]. Tersedia: http://nandayantronika15.blogspot.co.id/2015/04/adat-istiadat-budaya-sambas-buang-abu.html [9 Maret 2016]
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sambas
http://mursidin-hole.blogspot.co.id/2014/05/buang-abu-yang-kian-kelabu.html
http://insanakrozi.blogspot.co.id/2010/02/tepun-tawar-sui-bundung.html
Tidak ada komentar:
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta
Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:
1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan