CERITA RAKYAT SALAKO: Legenda Jubata Nek Baruakng Kulup
misterpangalayo.com - Suku Dayak Salako yang bermukim di kawasan benua Sambas (Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang) dan sebagian kecil di Sarawak (Malaysia) mempercayai cerita rakyat tentang asal usul padi yang berasal dari Jubata Nek Baruakng Kulup, anak dari Nek Karantiko.
Cerita rakyat Legenda Jubata Nek Baruakng Kulup menceritakan tentang Ayah dari Nek Baruakng Kulup tidak setuju dengan perbuatan anaknya yang sengaja memberikan benih padi kepada talino (manusia). Nek Karantiko khawatir manusia tidak mampu merawat padi itu dengan baik karena padi merupakan tanaman yang memiliki spirit atau roh.
Sifat manusia yang bongko' karongo (sifat jahat yang sewenang-wenang tanpa ada belas kasihan), oso (kegemaran manusia yang suka mengambil sesuatu dan melebihi kebutuhan yang akhirnya dibuang-buang, serta tidak berhemat dan tidak memikirkan hari esok), dan piroro (tidak mau menjaga, merawat, menghargai dan menghormati sesuatu yang telah menunjang kehidupan agar tetap baik dan utuh). Pada akhirnya, ketiga sifat jelek manusia itu dikontrol oleh adat, diperkuat oleh pandangan kosmologi dan mitos-mitosnya. Atas kemurahan hati Jubata Nek Baruakng Kulub dan alam, para talino (manusia) hingga sekarang bisa merasakan nikmatnya nasi dari benih padi tersebut.
Begitu banyak versi terkait cerita ini, berikut adalah salah satu versi Legenda Jubata Nek Baruakng Kulup yang berhasil saya himpun dan rewrite. Selamat membaca.
Dahulu kala, hiduplah manusia dari negeri kayangan bernama Nek Panitah dengan istrinya yang bernama Nek Duniang. Sungguhpun demikian, mereka tidak campur tidur. Nek Panitah kemudian meminta anak. “Yang-yang Si Julate, aku minta ada manjadiatn anak “ kata Nek Panitah. Tiba-tiba jadilah anak, yang kemudian diberinya nama Baruakng. Karena tidak disunat, maka nama anak itu menjadi Baruakng Kulub.
Setelah cukup besar, Baruakng kecil suka sekali bermain. Ia terus turun ke bumi, untuk bertemu Umang-Umang dan Bulit-Bulit. Mereka bertiga bermain gasing, namun Umang-Umang dan Bulit-Bulit selalu saja kalah. Baruakng tahu bahwa teman-temannya ini masih makan Kulat Karakng (sejenis jamur/cendawan), makanya dengan mudah ia mengalahkan mereka.
Pada suatu hari, Baruakng turun lagi ke bumi. Ia lupa bahwa dibetisnya, masih terdapat sisa nasi yang melekat. Biji nasi itu terlihat oleh Umang-Umang, lalu langsung diambil dan dimakannya. Tiba-tiba ia merasa segar sekali badannya. Terus bermain, kalahlah Baruakng.
“Kenapa ya..kamu bisa kalahkan aku ? “Tanya Baruakng.
“Ee..aku makan sesuatu yang melekat di betismu. Apa sih namanya ? “kata Umang-Umang sedikit bertanya, karena heran.
“itulah nasi “ jawab Baruakng.
“Seperti apa sih bentuknya nasi itu ? “Tanya Bulit-Bulit.
“O…sebelum nasi, namanya beras. Itulah yang kau makan tadi. Sebenarnya nasi itu tidak ketahuan melekat dibetisku “ kata Baruakng.
“Cobalah bawakan kami barang itu, kami ingin melihatnya “ Pinta Umang-Umang.
“payah…nanti bapak ibuku marah. Mereka menilai manusia di dunia tidak hemat. Itulah makanya mereka tidak mau memberi kalian, sebab Piroro (selalu terlantar/tidak terurus baik).
“Cobalah..bawakan sedikit saja. Kami ingin sekali melihatnya“, kata Bulit-Bulit.
Karena terus didesak kedua temannya, segera Baruakng naik lagi ke atas (dunianya, Sapangko). Ia berlari hingga sampai ke dangau padi ibunya.
“Mari pulang. Jangan kamu bawa padi itu, nanti bapakmu marah“, kata Nek Duniang kepada Baruakng. Lalu mereka pulang kerumah.
Besoknya, Baruakng pergi lagi ke dangau padi bersama ibunya yang sedang bekerja sendiri diladang. Diambilnya sebiji padi itu dan disimpan di celana kulitnya. Agar tidak ketahuan bapaknya. Namun ternyata tetap ketahuan, oleh karenanya diambil lagi. Bapaknya marah besar dengan Baruakng. Merasa rindu dengan teman-temannya, Baruakng turun lagi kebumi dan mengajak Umang-Umang dan Bulit-Bulit bermain gasing.
“Adakah kamu bawa sesuatu yang kami minta itu ?“ Tanya Umang-Umang.
“Tidak jadi saya bawa. Sebenarnya telah kubawa barangi itu, tapi ketahuan bapakku. Lalu diambil lagi “ kata Baruakng.
“Coba kamu simpan dikulit kepala “ anu”mu“, kata Umang-Umang.
Baruakng segera naik lagi keatas. Ia segera mengambil padi tersebut dan menyimpannya dikulit kepala “anu”nya. Bergegas Baruakng turun ke bumi menemui Umang-Umang dan Bulit-Bulit.
“Jangan kamu tanam diluar rumah. Tanamlah didapur, agar tidak ketahuan bapakku. “, kata Baruakng berpesan.
Umang-Umang menanam padi itu pada bulan enam, tujuh dan delapan. Setelah cukup besar padi itu, keluar pelepah, keluar anak-anaknya, hingga bunting. Butir-butir padi itu terus menguning dan siap dipanen. Nek Panitah tanpa sengaja melihat kebawah dan terkejutlah ia melihat padi itu.
“Ha..lihatlah kerja Baruakng. Sudah diberikannya manusia padi itu. Karena kamu tidak memperhatikannya, tidak kamu jaga dia bermain“, kata Nek Panitah kepada istrinya.
“Habis, mau bagaimana lagi ?“, jawab Nek Duniang.
“Itulah kamu. Brengsek, tidak hemat. Tunggu, nanti kubunuh anak itu “ kata Nek Panitah. Menangislah Nek Duniang oleh ucapan suaminya itu, ia takut anaknya dibunuh. Setelah itu, ia bertemu Baruakng.
“Larilah kamu segera, kamu sudah salah karena memberi manusia padi“, kata ibunya kepada Baruakng.
Nek Panitah membuat Pate’ (ranjau dari potongan kayu diruncingkan untuk membunuh), berhentilah ibunya menangis. Kemudian tubuhnya bersisik, ia menangisi lagi Baruakng. Dilihatnya ke bawah, dan terlihat Baruakng sangat ingin pulang ke atas untuk bertemu ibu bapaknya. Diturunkannya induk babi betina yang telah tua. Datanglah anaknya itu. Kemudian ia berkata.
“Itulah anak kita telah lari, tinggal adoh (induk babi betina) yang terkena pate’ (ranjau) ku“.
“Baik-baik kau nak, kalau di jalan yang lurus, tentu kau sampai ke subayatn, dan kalau ke kiri kau akan sampai ke bumi manusia“, kata Nek Duniang.
Baruakng terus saja berjalan, ia lupa telah berjalan ke kanan dan sampailah ia ke subayatn. Di subayatn, ia tertarik dengan Si Putih, gadis subayatn.
“Saya suku kamu, bolehkah kita menikah ? “ Tanya Baruakng.
“Saya juga suka kamu“, kata Si Putih.
Mereka kemudian menikah. Setelah lama menikah, ia teringat ibunya. Karena teramat rindu, ia pulang dan bertemu.
“Kemana kamu pergi ?“, Tanya ibunya.
“Jalan yang lurus. Istriku si Putih, cantik sekali“, kata Baruakng.
“Pura-pura pulang kamu anakku. Lihatlah gutu (kutu) dikepalanya, ada satu rambutnya yang diatas kepala. Cabutlah, terus ia akan benci denganmu“, pesan ibunya.
Terasa pikiran si Putih untuk hamil, segera dilihatnya perutnya telah besar. Dulu, sangat lama menikah dengan Baruakng ia tak kunjung hamil sekarang ia telah hamil. Setelah berumur sembilan bulan sepuluh hari, keluarlah anak itu. Apa yang dilahirkannya ? ternyata segala burung. Heranlah Baruakng.
“Mengapa istriku melahirkan burung banyak sekali ?. sedih sekali aku melihat istriku melahirkan burung. Besok aku harus bertemu ibuku“, ujar Baruakng dalam hati. Keesokan harinya, Baruakng naik lagi ke atas dan bertemu ibunya.
“Bu, mengapa istriku melahirkan burung ? makanan apa yang harus kuberikan mereka nanti ? siapa nanti namanya harus kuberikan ? “ Tanya Baruakng.
“Oh…sebenarnya tidak sulit benar memberinya nama anakku. Tancapkan saja aur (sejenis bamboo yang daunnya sangat kecil, runcing dan memanjang) ke ujung pante (halaman rumah), lepaskanlah seekor demi seekor. Lepaskan yang tertua, maka berkata Keto. Kemudian Kohor, Caruit, Buria’. Lepaskan lagi yang tertua berkata Biang, kemudian Jantek, Rooh, Jeje, Ansit, Dugal, Tongo’, Adatn, Kijakng”, kata Nek Duniang kepada Baruakng. Itulah langkah-langkah berladang, mengerjakan padi itu, tambahnya.
“Pulanglah kamu segera dengan istrimu itu. Kamu harus cerai, cabut rambutnya diatas kepala, ia pasti benci dengan mu.” Pesan ibunya lagi.
Kemudian datanglah bapaknya kepada Baruakng.
“Ceraikan saja istrimu itu. Turunlah kamu di dunia, mengajar manusia. Kebetulan kamu telah memberi manusia padi. Kamu harus beristri lagi segera“, kata Nek Panitah.
Baruakng turun lagi, dan menikah dengan Jamani, seorang gadis dari dunia. Setelah lama bersuami-istri, Jamani hamil. Setelah cukup umur kehamilannya, ia kemudian melahirkan seorang bayi, yang diberinya nama Kulikng Langit. Kulikng Langit tumbuh dengan cepat, sehingga tidak lama kemudian ia hampir dewasa. Ia senang bermain.
Didekat rumahnya, terdapat sebatang pohon langsat. Karena tertarik dan berminat untuk makan buah langsat yang telah masak, ia memanjat pohon tersbut. Baruakng tidak tahu kalau anaknya akan memanjat pohon langsat, karena ia telah bersiap akan naik keatas, menemui orang tuanya.
“Begini istriku, aku akan naik keatas. Kalau anakmu telah turun ke tanah, katakan padanya, jangan dilanggar kata kakaknya (keto,jantek dll). Kalau ia ingin naik atau turun, jangan sekali-kali dilanggar kata kakaknya. Segala Kohor, Jantek, Keto, Buria’, Biang, Rooh, Jeje. Sebab kalau di langgar, ia akan menerima naas“, pesan Baruakng kepada istrinya.
Setelah tahu tidak ada bapaknya, Kulikng Langit masih berminat sekali untuk memanjat pohon langsat untuk mengambil buahnya. Tiba-tiba, Keto terbang tepat didepannya. Ia tahu, tetapi tetap saja ia tidak menghiraukan kata-kata kakaknya. Setelah tiga kali dlarang kakaknya tetap tidak mau, Kulikng Langit tetap memanjat pohon itu. Belum sempat diatas, tiba-tiba ia terjatuh. Tubuhnya hancur menimpa batu, karena tepat diatas hamparan batu.
“Ha..mestinya kita harus beritahu ayah“, kata Keto. Setelah itu, mayat Kulikng Langit dibawa keatas, menemui Nek Panitah.
“Aku ini tali nyawa, hiduplah kamu“, kata Nek Panitah. Kulikng Langit hidup kembali, tetapi ia kemudian dilarang kembali ke dunia bersama manusia.
“Ha…kamu Baruakng, turunlah lagi kedunia. Kamu ajarkan palangkahan (teknik menghindari naas) segala kata burung kepada manusia“, kata Nek Panitah.
Turunlah Baruakng kedunia. Itulah hingga kini, manusia,khususnya di kalangan orang Dayak tetap mengingat dan memperhatikan tanda-tanda alam seperti, kata burung dan lain-lain bila ingin mengerjakan sesuatu, terutama bila akan memulai perladangan.
Setelah cukup besar, Baruakng kecil suka sekali bermain. Ia terus turun ke bumi, untuk bertemu Umang-Umang dan Bulit-Bulit. Mereka bertiga bermain gasing, namun Umang-Umang dan Bulit-Bulit selalu saja kalah. Baruakng tahu bahwa teman-temannya ini masih makan Kulat Karakng (sejenis jamur/cendawan), makanya dengan mudah ia mengalahkan mereka.
Pada suatu hari, Baruakng turun lagi ke bumi. Ia lupa bahwa dibetisnya, masih terdapat sisa nasi yang melekat. Biji nasi itu terlihat oleh Umang-Umang, lalu langsung diambil dan dimakannya. Tiba-tiba ia merasa segar sekali badannya. Terus bermain, kalahlah Baruakng.
“Kenapa ya..kamu bisa kalahkan aku ? “Tanya Baruakng.
“Ee..aku makan sesuatu yang melekat di betismu. Apa sih namanya ? “kata Umang-Umang sedikit bertanya, karena heran.
“itulah nasi “ jawab Baruakng.
“Seperti apa sih bentuknya nasi itu ? “Tanya Bulit-Bulit.
“O…sebelum nasi, namanya beras. Itulah yang kau makan tadi. Sebenarnya nasi itu tidak ketahuan melekat dibetisku “ kata Baruakng.
“Cobalah bawakan kami barang itu, kami ingin melihatnya “ Pinta Umang-Umang.
“payah…nanti bapak ibuku marah. Mereka menilai manusia di dunia tidak hemat. Itulah makanya mereka tidak mau memberi kalian, sebab Piroro (selalu terlantar/tidak terurus baik).
“Cobalah..bawakan sedikit saja. Kami ingin sekali melihatnya“, kata Bulit-Bulit.
Karena terus didesak kedua temannya, segera Baruakng naik lagi ke atas (dunianya, Sapangko). Ia berlari hingga sampai ke dangau padi ibunya.
“Mari pulang. Jangan kamu bawa padi itu, nanti bapakmu marah“, kata Nek Duniang kepada Baruakng. Lalu mereka pulang kerumah.
Besoknya, Baruakng pergi lagi ke dangau padi bersama ibunya yang sedang bekerja sendiri diladang. Diambilnya sebiji padi itu dan disimpan di celana kulitnya. Agar tidak ketahuan bapaknya. Namun ternyata tetap ketahuan, oleh karenanya diambil lagi. Bapaknya marah besar dengan Baruakng. Merasa rindu dengan teman-temannya, Baruakng turun lagi kebumi dan mengajak Umang-Umang dan Bulit-Bulit bermain gasing.
“Adakah kamu bawa sesuatu yang kami minta itu ?“ Tanya Umang-Umang.
“Tidak jadi saya bawa. Sebenarnya telah kubawa barangi itu, tapi ketahuan bapakku. Lalu diambil lagi “ kata Baruakng.
“Coba kamu simpan dikulit kepala “ anu”mu“, kata Umang-Umang.
Baruakng segera naik lagi keatas. Ia segera mengambil padi tersebut dan menyimpannya dikulit kepala “anu”nya. Bergegas Baruakng turun ke bumi menemui Umang-Umang dan Bulit-Bulit.
“Jangan kamu tanam diluar rumah. Tanamlah didapur, agar tidak ketahuan bapakku. “, kata Baruakng berpesan.
Umang-Umang menanam padi itu pada bulan enam, tujuh dan delapan. Setelah cukup besar padi itu, keluar pelepah, keluar anak-anaknya, hingga bunting. Butir-butir padi itu terus menguning dan siap dipanen. Nek Panitah tanpa sengaja melihat kebawah dan terkejutlah ia melihat padi itu.
“Ha..lihatlah kerja Baruakng. Sudah diberikannya manusia padi itu. Karena kamu tidak memperhatikannya, tidak kamu jaga dia bermain“, kata Nek Panitah kepada istrinya.
“Habis, mau bagaimana lagi ?“, jawab Nek Duniang.
“Itulah kamu. Brengsek, tidak hemat. Tunggu, nanti kubunuh anak itu “ kata Nek Panitah. Menangislah Nek Duniang oleh ucapan suaminya itu, ia takut anaknya dibunuh. Setelah itu, ia bertemu Baruakng.
“Larilah kamu segera, kamu sudah salah karena memberi manusia padi“, kata ibunya kepada Baruakng.
Nek Panitah membuat Pate’ (ranjau dari potongan kayu diruncingkan untuk membunuh), berhentilah ibunya menangis. Kemudian tubuhnya bersisik, ia menangisi lagi Baruakng. Dilihatnya ke bawah, dan terlihat Baruakng sangat ingin pulang ke atas untuk bertemu ibu bapaknya. Diturunkannya induk babi betina yang telah tua. Datanglah anaknya itu. Kemudian ia berkata.
“Itulah anak kita telah lari, tinggal adoh (induk babi betina) yang terkena pate’ (ranjau) ku“.
“Baik-baik kau nak, kalau di jalan yang lurus, tentu kau sampai ke subayatn, dan kalau ke kiri kau akan sampai ke bumi manusia“, kata Nek Duniang.
Baruakng terus saja berjalan, ia lupa telah berjalan ke kanan dan sampailah ia ke subayatn. Di subayatn, ia tertarik dengan Si Putih, gadis subayatn.
“Saya suku kamu, bolehkah kita menikah ? “ Tanya Baruakng.
“Saya juga suka kamu“, kata Si Putih.
Mereka kemudian menikah. Setelah lama menikah, ia teringat ibunya. Karena teramat rindu, ia pulang dan bertemu.
“Kemana kamu pergi ?“, Tanya ibunya.
“Jalan yang lurus. Istriku si Putih, cantik sekali“, kata Baruakng.
“Pura-pura pulang kamu anakku. Lihatlah gutu (kutu) dikepalanya, ada satu rambutnya yang diatas kepala. Cabutlah, terus ia akan benci denganmu“, pesan ibunya.
Terasa pikiran si Putih untuk hamil, segera dilihatnya perutnya telah besar. Dulu, sangat lama menikah dengan Baruakng ia tak kunjung hamil sekarang ia telah hamil. Setelah berumur sembilan bulan sepuluh hari, keluarlah anak itu. Apa yang dilahirkannya ? ternyata segala burung. Heranlah Baruakng.
“Mengapa istriku melahirkan burung banyak sekali ?. sedih sekali aku melihat istriku melahirkan burung. Besok aku harus bertemu ibuku“, ujar Baruakng dalam hati. Keesokan harinya, Baruakng naik lagi ke atas dan bertemu ibunya.
“Bu, mengapa istriku melahirkan burung ? makanan apa yang harus kuberikan mereka nanti ? siapa nanti namanya harus kuberikan ? “ Tanya Baruakng.
“Oh…sebenarnya tidak sulit benar memberinya nama anakku. Tancapkan saja aur (sejenis bamboo yang daunnya sangat kecil, runcing dan memanjang) ke ujung pante (halaman rumah), lepaskanlah seekor demi seekor. Lepaskan yang tertua, maka berkata Keto. Kemudian Kohor, Caruit, Buria’. Lepaskan lagi yang tertua berkata Biang, kemudian Jantek, Rooh, Jeje, Ansit, Dugal, Tongo’, Adatn, Kijakng”, kata Nek Duniang kepada Baruakng. Itulah langkah-langkah berladang, mengerjakan padi itu, tambahnya.
“Pulanglah kamu segera dengan istrimu itu. Kamu harus cerai, cabut rambutnya diatas kepala, ia pasti benci dengan mu.” Pesan ibunya lagi.
Kemudian datanglah bapaknya kepada Baruakng.
“Ceraikan saja istrimu itu. Turunlah kamu di dunia, mengajar manusia. Kebetulan kamu telah memberi manusia padi. Kamu harus beristri lagi segera“, kata Nek Panitah.
Baruakng turun lagi, dan menikah dengan Jamani, seorang gadis dari dunia. Setelah lama bersuami-istri, Jamani hamil. Setelah cukup umur kehamilannya, ia kemudian melahirkan seorang bayi, yang diberinya nama Kulikng Langit. Kulikng Langit tumbuh dengan cepat, sehingga tidak lama kemudian ia hampir dewasa. Ia senang bermain.
Didekat rumahnya, terdapat sebatang pohon langsat. Karena tertarik dan berminat untuk makan buah langsat yang telah masak, ia memanjat pohon tersbut. Baruakng tidak tahu kalau anaknya akan memanjat pohon langsat, karena ia telah bersiap akan naik keatas, menemui orang tuanya.
“Begini istriku, aku akan naik keatas. Kalau anakmu telah turun ke tanah, katakan padanya, jangan dilanggar kata kakaknya (keto,jantek dll). Kalau ia ingin naik atau turun, jangan sekali-kali dilanggar kata kakaknya. Segala Kohor, Jantek, Keto, Buria’, Biang, Rooh, Jeje. Sebab kalau di langgar, ia akan menerima naas“, pesan Baruakng kepada istrinya.
Setelah tahu tidak ada bapaknya, Kulikng Langit masih berminat sekali untuk memanjat pohon langsat untuk mengambil buahnya. Tiba-tiba, Keto terbang tepat didepannya. Ia tahu, tetapi tetap saja ia tidak menghiraukan kata-kata kakaknya. Setelah tiga kali dlarang kakaknya tetap tidak mau, Kulikng Langit tetap memanjat pohon itu. Belum sempat diatas, tiba-tiba ia terjatuh. Tubuhnya hancur menimpa batu, karena tepat diatas hamparan batu.
“Ha..mestinya kita harus beritahu ayah“, kata Keto. Setelah itu, mayat Kulikng Langit dibawa keatas, menemui Nek Panitah.
“Aku ini tali nyawa, hiduplah kamu“, kata Nek Panitah. Kulikng Langit hidup kembali, tetapi ia kemudian dilarang kembali ke dunia bersama manusia.
“Ha…kamu Baruakng, turunlah lagi kedunia. Kamu ajarkan palangkahan (teknik menghindari naas) segala kata burung kepada manusia“, kata Nek Panitah.
Turunlah Baruakng kedunia. Itulah hingga kini, manusia,khususnya di kalangan orang Dayak tetap mengingat dan memperhatikan tanda-tanda alam seperti, kata burung dan lain-lain bila ingin mengerjakan sesuatu, terutama bila akan memulai perladangan.
beruang kulup?? wah baru dengar ini
BalasHapusceritanya seru.. baru tau ada ceruta kek gini..
BalasHapusKalau mau tau info lebih jelasnya, klick sini aja https://goo.gl/w3uhnF
BBM :2BCD5336