Sepotong Kisah Rumah Tua Marga Tjhia di Kota Singkawang
misterpangalayo.com - Kota Singkawang atau San Keuw Jong merupakan sebuah daerah pecinan di Kalimantan Barat yang berstatus kota, dimana mayoritas penduduknya adalah orang Tionghoa Hakka (dengan persentase sekitar 42%). Kota Singkawang terletak sekitar 145 km sebelah utara dari Kota Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat. Kota yang dulunya bekas ibukota pemerintahan Kabupaten Sambas ini dikenal sebagai kota pariwisata. Banyak tempat wisata bisa ditemukan di kota ini, mulai dari wisata alamnya yang lengkap hingga wisata sejarahnya.
Kota Singkawang yang menyimpan banyak cerita sejarah zaman dahulu tidak hanya memiliki keindahan panorama pada setiap tempat wisatanya. Kota ini memiliki tempat yang bernilai sejarah. Salah satu tempat bersejarah adalah rumah keluarga Tjhia (Marga Xie) dengan luas 5300 meter persegi. Rumah Tua ini masih berdiri kokoh di pusat kota Singkawang, segala perabotan dan desainnya masih dipertahankan hingga sekarang. Selain itu, rumah legendaris ini juga diklaim sebagai rumah tertua di kota Singkawang oleh masyarakat setempat.
Berikut adalah sepotong kisah yang akan membawa kita flashback ke masa lalu dimana awal berdirinya rumah tua marga Tjhia (Xie) di pusat kota Singkawang, tepatnya di Jalan Budi Utomo No. 36, yuk simak baik-baik kisahnya.
Pada abad ke-20, hiduplah seorang warga Cina yang bernama Tjhia Hiap Shin. la merantau ke Kalimantan untuk berdagang sekaligus mencari pekerjaan. la berlayar ke Pulau Kalimantan karena banyak warga yang bermigrasi ke Kalimantan kemudian pulang dengan membawa hasil yang sangat memuaskan.
Bahkan, ada warga mereka yang menetap di Kalimantan karena kehidupan perekonomian yang mereka anggap terjamin. Setelah tiba di Pulau Kalimantan, ia menuju Singkawang yang merupakan salah satu pusat jalur perdagangan pada masa itu. Di sana ia berbisnis dan mencari tempat tinggal seadanya.
Setelah beberapa waktu berlalu bisnis yang ia geluti kalah oleh harga pasar sehingga akhirnya ia bangkrut. la pun berusaha mencari pekerjaan untuk modal membuka usaha kembali. Namun, sebulan berlalu Hiap Shin belum juga mendapatkan pekerjaan. Pada suatu hari ia berkeliling Kota Singkawang dengan maksud untuk mencari pekerjaan seperti biasanya.
Selama tiga hari ia mencari pekerjaan, tetapi hanya rasa kecewa yang ia dapatkan. Dengan langkah gontai ia berjalan dan terus berjalan sampai suatu ketika ia terkejut dengan suara teriakan yang memanggilnya dengan nama panggilan kesehariannya.
“Shin… oi… Shin… kha hi Shin...,” teriak seseorang sambil setengah berlari menuju tempat Hiap Shin berdiri. Hiap Shin pun menoleh ke belakangnya mencari sumber panggilan tersebut.
Hiap Shin berkata, “Oh Afhui.. Thomae na?” Saat mengenali orang yang telah memanggil namanya, orang tersebut berpakaian cukup rapi memakai sepatu yang necis, rambutnya mengkilap karena minyak rambut, dan berbau wangi yang berasal dari parfum mahal. Tampaknya ia sangat memperhatikan dan menjaga penampilannya, yang pasti orang tersebut tidak berpakaian seperti dirinya.
“lya ini aku, kamu apa kabar? Aku takut tadi aku salah orang, ternyata benar ini kamu,” kata orang tersebut.
“Aku baik-baik saja, Fhui. Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Hiap Shin.
“Justru aku yang harusnya bertanya. Kenapa kau bisa ada di sini?” Afhui balik bertanya.
“A…a…aku cuma….,” Hiap Shin tergagap.
“Kau mencari pekerjaan ya?” tanya Afhui spontan, ia berusaha menebak apa yang sedang temannya itu lakukan.
“Huf, iya Fhui. Aku sedang mencari pekerjaan sekarang ,tetapi aku selalu saja ditolak,” jawab Hiap Shin dengan nada murung.
“Ah, kau ini kenapa tidak bilang-bilang dulu. Sudahlah, Mari ikut aku!” ajak Afhui sembari menarik tangan Hiap Shin.
“Kita mau kemana?” tanya Hiap Shin bingung.
“Kau mau pekerjaan bukan?” tanya Afhui lagi.
“Tentu saja aku mau,” jawab Hiap Shin.
“Kalau begitu kau ikut aku, akan aku kenalkan dengan seseorang yang akan mempekerjakanmu,” kata Afhui menerangkan maksudnya.
Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah toko sembako, tempat berniaga para pedagang untuk memasarkan barang dagangan mereka. Keadaan di toko sembako tersebut terlihat begitu hiruk pikuk dikarenakan para pekerja yang terlihat begitu sibuk lalu lalang, ada yang sedang menimbang beras dan tepung, ada yang sibuk membersihkan tempat dedag (makanan unggas), dan banyak pekerjaan lainnya.
Semua pekerjaan itu terlihat sangat melelahkan dan menyibukkan. Namun, ia melihat seorang pria paruh baya yang terlihat begitu tenang sambil menghisap rokok yang berada ditangannya. Pria tersebut terlihat begitu santai sambil sesekali memerintah para pekerjanya.
“Nah, sekarang sudah sampai, ayo!” Afhui mengagetkan dan menarik tangan Hiap Shin yang terkesima melihat kesibukan di toko sembako tersebut, menuju pria tua yang sedang asyik mengamati.
“Halo Kho, apa kabar?” sapa Afhui ramah kepada pria tersebut.
“Oh Afhui, ada apa kamu di sini?” tanya pria tua itu.
“Ini Kho saya bawa teman saya, katanya dia mau cari kerja, Kho,” jawab Afhui.
“Oh..mau kerja? Ada…ada, kamu siapa punya nama?” tanya pria tua tersebut dengan tutur bahasa Indonesia yang terbolak-balik.
“S…s..saya Kho? Saya punya nama Hiap Shin, Kho, Tjhia Hiap Shin,” jawab Hiap Shin dengan nada gugup bercampur girang karena diterima kerja.
“CLHiap Shin a,,,, panggil saya Koh Akhiong, tapi orang-orang di sini panggil saya Khokho,” jelas Kho Akhiong.
“lya Kho…,” jawab Hiap Shin dengan nada riang.
“Jadi Kho, kapan dia bisa mulai kerja?” tanya Afhui kepada Kho Akhiong.
“Dia bisa kapan mulai kerja? Saya bisa kapan saja,” jawab Kho Akhiong.
“Kalau mulai hari ini saya juga bisa, Kho,” jawab Hiap Shin.
“Oke… sekarang kamu pindahkan itu barang ke gerobak yang di ujung sana,” perintah Kho Akhiong tanpa basa basi.
“Baik, Kho,” jawab Hiap Shin menyanggupi dengan semangatnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB sudah waktunya makan siang bagi para pekerja. Para pekerja langsung beristirahat dan sibuk melahap santapan makan siang mereka. Namun, Hiap Shin tidak ikut makan siang karena ia tak membawa uang sepeser pun. la berpikir mencari cara untuk menenangkan cacing-cacing yang ada diperutnya saat ini.
“Hei!!” tiba-tiba seseorang berteriak mengagetkan Hiap Shin. Seketika ia mencari dari mana sumber suara itu dilihatnya seorang pria yang melambai padanya ternyata pria yang berteriak padanya adalah Kho Akhiong.
“CLKho,” tersenyum Hiap Shin mengetahuinya.
“Sini..sini,” panggil Kho Akhiong sambil melambai memanggil dirinya.
“lya, Kho. Ada apa Kho,” jawab Hiap Shin penasaran sembari menghampiri Kho Akhiong.
“Kamu sudah makan? Kalau kamu belum makan, makan sama saya saja,” Kho Akhiong menawarkan makanan, karena melihat Hiap Shin yang teriihat celingak-celinguk saat makan siang.
“O..iya Kho,” jawab Hiap Shin tanpa basa basi ia tak tahan lagi menenangkan cacing-cacing di perutnya yang meminta hak mereka.
“Kamu berasal dari mana?” tanya Kho Akhiong saat makan di meja makan.
“Dari Beijing, Kho,” jawab Hiap Shin sambil asyik melahap makanannya.
“Kenapa kamu mau ke Kalimantan kalau kamu juga pada akhirnya jadi buruh di sini?” tanya Kho Akhiong.
“Saya pada awalnya ingin berdagang Kho, tapi apa boleh buat namanya juga nasib,” jawab Hiap Shin.
“HAHAHA !!” tawa Kho Akhiong pecah setelah mendengar jawaban lugu dari pekerja barunya itu.
“Hek, Uhuk..Uhuk..Uhuk…”Spontan Hiap Shin tersedak mendengar tawa bosnya tersebut, ia terheran-heran akan perilaku bosnya tersebut. Salahkah aku menjawabnya? Kenapa ia tertawa? pitor Hiap Shin.
“Kamu sebut itu nasib? Hei, nasib itu tergantung dirimu sendiri,” ujar Kho Akhiong.
“Maksud Khokho ?” tanya Hiap Shin bingung dengan pernyataan bosnya itu.
“Nasib itu bisa kau ubah, Shin. Tidak ada yang tidak bisa diubah selama dirimu itu mau berubah,” kata Kho Akhiong menasehati.
“Saya menyerah, saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Kho. Saya datang ke Kalimantan ini hanya untuk berdagang pada awalnya, tetapi ternyata barang yang saya perdagangkan kalah saing dengan barang-barang yang ada di pasaran. Dan akhirnya saya bangkrut, saya pengangguran, mencari pekerjaan, dan akhir cerita di sinilah saya berada di hadapan anda, Kho,” jelas Hiap Shin menceritakan pengalaman hidupnya.
“Malang sekali dirimu, tapi ingatlah selalu ini nasihat untukmu, nasib dan takdir itu memang ditentukan oleh Tuhan, Shin. Tetapi, kita manusia harus berusaha dan terus berusaha jangan sampai suatu masalah itu menjadi penghalang yang membuatmu tak berdaya kamu bisa mengubah itu semua selagi kamu mau melakukannya,” kata Kho Akhiong ke pada orang yang sedang patah semangat itu.
“Baiklah, Kho. Terima kasih aku akan selalu mengingatnya,” ucap Hiap Shin.
“Oke, sekarang kamu kerjalah,” kata Kho Akhiong menyuruhnya.
“Baik Kho. Terima kasih juga atas makanannya,” ucap Hiap Shin menutupi pembicaraan.
Pagi yang cerah untuk mengawali aktivitas yang istimewa. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, sudah berselang satu tahun dari hari pertama ia bekerja di Toko Sembako Kho Akhiong. Kho Akhiong pun semakin hari semakin baik dan percaya akan pengabdian Hiap Shin terhadap dirinya.
Namun, dibalik rasa simpati dan kepercayaan yang diberikan oleh Kho Akhiong terhadap Hiap Shin, ada rasa iri dari salah seorang pegawainya yang merasa kalau ia lebih pantas diberi kepercayaan oleh Kho Akhiong. Karena ia lebih lama bekerja dan mengabdi kepada Kho Akhiong bukannya Hiap Shin. Dengan adanya rasa iri yang dimilikinya ia berusaha untuk berbuat jahat terhadap Hiap Shin.
“Shin ei… Shin. Nyi lay Shin, kamu tolong antar ini bawang ke Pasar Hongkong,” perintah Kho Akhiong kepada Hiap Shin ketika Kho Akhiong mendapatkan pesanan untuk diantarkan.
“Ho..Kho..Ngai Thit…” jawab Hiap Shin dalam bahasa Haka.
“Ingat; jangan lupa!” teriak Khokho dari dalam toko.
Ketika Hiap Shin bersiap-siap untuk berangkat dan sedang mengangkut karung goni berisikan bawang, bisik-bisik antar pekerja pun terjadi antara Chi Liong dan Aphin.
“Coba lihat itu, makin besar saja kepala anak itu,” kata Aphin, pekerja di toko itu yang juga tidak menyukai sikap Kho Akhiong yang akhir-akhir ini memberikan kepercayaan yang lebih kepada Hiap Shin.
“Lalu kenapa kalian harus repot-repot dengan masalah yang belum tentu ada untungnya untukmu?” tanya salah seorang lagi yang merasa risih dengan pembicaraan itu.
“Heh!! Diam sajalah kau!!” bentak Chi Liong kepada orang itu. Tersentak kaget pekerja tersebut karena bentakan dari Chi Liong.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Aphin kepada Chi Liong.
“Kita lihat saja nanti apa yang bisa kita lakukan.”kata Chi Liong penuh misteri seakan ingin melakukan sesuatu yang tidak baik kepada Hiap Shin.
Jadwal makan siang sudah tiba, saatnya mengisi perut agar cacing-cacing di perut tidak berdemo. Saat semua pekerja yang lain sedang asyik menyantap makanan mereka di luar toko. Seorang pegawai mengendap-endap dan mendekati makanan yang berada di atas meja makan sambil menaburkan sebotol bubuk diatas makanan tersebut. Sekilas bubuk tersebut terlihat seperti tepung yang sepertinya bukanlah tepung. Setelah menabur bubuk itu, ia pun tergesa-gesa pergi.
Selang beberapa waktu Hiap Shin datang dan bersiap-siap untuk menyantap makanan yang berada di atas meja. Tetapi, ada suara yang memanggil namanya sehingga ia pun menunda untuk menyantap makanannya tersebut.
Saat Hiap Shin pergi untuk menyelesaikan beberapa urusannya, seekor kucing datang menghampiri makan siangnya itu dan melahapnya tanpa mengetahui apa yang ada di dalam makanan tersebut Seketika kucing tersebut kejang-kejang lalu akhirnya mati di samping makan siangnya.
Ketika Hiap Shin kembali ia terkejut melihat ada seekor kucing yang mati dengan mulut berbuih di samping makan siangnya. la merasa kaget, heran, dan bingung sekaligus bersyukur karena ia tidak jadi memakan makan siangnya yang ternyata beracun. Namun, ia merasa heran,” siapa yang tega melakukan ini terhadapnya?” pikir Hiap Shin.
“Huaaah capeknya,” keluh Hiap Shin kepada dirinya sendiri.
“Hei Shin..!!” tersentak kaget Hiap Shin karena teriakan itu.
“Oh…Chi Liong, ada apa? Kenapa pake teriak-teriak? Ngai punya telinga e,” kata Hiap Shin memprotes tingkah Chi Liong.
Sembari menutup pintu Chi Liong mendekati Hiap Shin. Hiap Shin terheran-heran karena tingkah laku Chi Liong. Apa mungkin dia yang meracuni makananku? Terbesit di dalam pitoran Hiap Shin akan orang yang meracuni makanannya. Namun, Chi Liong semakin mendekat dan melihat dirinya dengan mata yang terlihat begitu menyeramkan.
“Kau sedang apa?” tanya Hiap Shin dengan nada takut Secara tiba-tiba Chi Liong mengacungkan sebuah pisau dan mengayunkan pisau ke arah Hiap Shin dengan membabi buta,berusaha untuk mengenai tubuh Hiap Shin.
“Hei! Chi Liong berhenti!! Apa kau sudah gila?” teriak Hiap Shin.
“lya…Aku memang sudah gila, ini semua karena dirimu!!”
“Apa salahku kepadamu? Aku tak pernah mencari masalah dengan dirimu!!” Jelas Hiap Shin dengan nada gemetar dan was-was karena takut akan kemarahan Chi Liong yang membabi buta.
“AAAhhhhh…!! Banyak mulut kau!!”
Chi Liong terus berusaha untuk menusuk Hiap Shin karena ia beranggapan bahwa Hiap Shin lah yang menyebabkan dirinya tersisihkan. Akibat kedatangannya ,dirinya menjadi turun di mata Kho Akhiong. Kho Akhiong tidak lagi menaruh kepercayaan kepada dirinya.
Namun, semakin keras ia berusaha untuk membunuh Hiap Shin semakin hilang pula akal sehat yang ia miliki. Hiap Shin berlari keluar untuk menghindari serangan Chi Liong, melihat kejadian kejar-kejaran itu, para pekerja merasa terheran-heran dan berusaha membantu Hiap Shin lepas dari kejaran Chi Liong yang membabi buta, membutuhkan waktu yang lama untuk menenangkannya.
Setelah Chi Liong menjadi tenang. Kho Akhiong yang mendengar berita tersebut menjadi murka dan langsung memecat Chi Liong tanpa ada uang pesangon sama sekali. la tak menyangka bahwa ada di antara anak buahnya yang berani bertindak seanarkis itu. Kho Akhiong kembali mengingat peristiwa ketika Chi Liong mendapatkan kepercayaannya, tetapi kepercayaan itu disalahgunakan olehnya.
Di malam yang larut hujan turun begitu lebatnya bersama tiupan angin yang begitu dingin hingga siap membuat tubuh menggigil. Saat itu, Kho Akhiong sedang berjalan kaki menyusuri jalan di pasar untuk pulang ke rumahnya menggunakan mantel dan payung untuk menghindari dari guyuran hujan. Seketika Kho Akhiong merasa terkejut melihat seorang pemuda terkulai tak berdaya di depan rumahnya dengan beberapa luka lebam di sekitar tubuh dan wajahnya. Kho Akhiong merasa iba dan menolongnya.
Setelah sebulan ia berada di rumah Kho Akhiong, pemuda itu mendapatkan kepercayaan dari Kho Akhiong. Kho Akhiong merasa bahwa pemuda tersebut bisa dipercaya karena ia telah menunjukkan beberapa tindakan terima kasihnya kepada Kho Akhiong. Pemuda itu menjaga tokonya di saat Kho Akhiong tidak dapat menjaga toko, membersihkan alat-alat berniaganya, dan membantunya dalam segala hal yang bisa ia kerjakan.
Kho Akhiong mempercayainya menjaga toko selagi Kho Akhiong pergi keluar kota. Namun, suatu saat Kho Akhiong pulang lebih cepat dari rencananya, ia tersentak kaget melihat tokonya terbengkalai tak tentu arah, yang terlihat hanya sebuah tempat yang sangat kacau dan tidak terlihat seorang pembeli pun.
“Apa yang kau lakukan selama aku pergi?” tanya Kho Akhiong kepada Chi Liong yang hanya diam mematung.
“Jawab aku Chi Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap tokoku? Apa kau ingin membuat tempatku ini menjadi sarang kerbau?” tanya Kho Akhiong lagi menuntut penjelasan.
“A…a.. aku hanya…” jawab Chi Liong tergagap ketakutan.
“Kenapa berhenti? Cepat jelaskan!!” bentak Khokho.
“Ini semua terjadi karena, sebelum aku berada di sini aku banyak dililit hutang dan aku tidak mampu untuk membayarnya. Tadi para rentenir itu menemukan keberadaanku dan menagih semua hutang itu, tetapi aku tidak bisa membayarnya, lalu…” Chi Liong diam sejenak karena gemetar.
“Lalu apa?”
“Lalu…mereka mengacak-acak tempat ini dan mengambil semua uang yang ada, tapi aku sudah berusaha untuk mencegahnya,” jelas Chi Liong membela diri. Namun, Kho Akhiong hanya diam tak bergeming.
“Aku minta maaf Kho, aku tak bermaksud untuk membuat dirimu bangkrut atau apapun itu. Aku sama sekali tak bermaksud, Kho,”ujar Chi Liong mengharap belas kasihan Kho Akhiong.
Kho Akhiong menarik nafas sejenak untuk mengatur emosinya.
“Baiklah…sebagai gantinya, kau harus bekerja di sini untuk melunasi semua kerugian yang aku alami.” Tanpa berkata banyak lagi Kho Akhiong pergi tanpa menghiraukan keberadaan Chi Liong.
Lamunan Kho Akhiong buyar setelah seseorang menepak pundaknya. la tahu bahwa Chi Liong tidak bisa berbuat apa-apa karena ini semua terjadi karena kecerobohan Chi Liong sendiri yang terlalu mengikuti amarahnya. Chi Liong pun hanya bisa menerima dengan rasa bersalah dan penuh penyesalan.
Waktu pun semakin berlalu dari tahun ke tahun. Karena sudah merasa mapan akan hidupnya, Hiap Shin lalu membangun sebuah armada kapal yang merupakan tempat persinggahan dan berlabuh para awak kapal dan para pedagang untuk melakukan distribusi maupun sebagai tempat pangkalan kapal pengantar atau angkutan umum untuk wilayah perairan.
Dengan dibangunnya armada kapal ini, Hiap Shin semakin berjaya dalam dunia perekonomian khususnya di wilayah Singkawang dan sekitamya. Kemudian ia membangun rumahnya di atas armada tersebut.
“Aaduuh…Shin, makin hebat saja kau ini,” kata Afhui kagum akan kesuksesan Hiap Shin.
“Ah..tidak juga, Fhui. Kamu bisa saja, aku seperti ini juga berkat dirimu, kalau kamu tidak mengenalkanku kepada Kho Akhiong aku akan selalu menjadi pecundang seperti dulu,” Hiap Shin merasa berbangga diberi pujian oleh sahabat yang telah membantunya.
“Lalu? apa kau tidak mau mentraktirku?” kata Afhui dengan nada bercanda, tetapi berharap.
“Tentu aku akan mentraktir sahabat yang baik sepertimu,” jawab Hiap Shin menyenangkan hati Afhui.
“Serius?” kata Afhui tak percaya.
“Tentu, aku sangat serius, nan, apa yang kau ingin kan?”
“Oke, bagaimana kalau kita mengajak Kho Akhiong juga?” usul Chi Lioang.
“Kenapa tidak, ayo kita ajak,” sahut Hiap Shin antusias.
Maka pergilah mereka berdua menuju toko Kho Akhiong. Sesampainya disana mereka mengajak Khokho untuk makan bersama di restaurant masakan Cina yang terkenal pada masa itu.
Setibanya mereka di depan restaurant masakan Cina, tercium harumnya masakan Cina yang siap membuat lambung bergoyang-goyang karena tergoda untuk melahapnya. Mereka memesan beberapa porsi makanan dan menghabiskan sebotol minuman sambil berbincang-bincang sampai lupa waktu.
Tidak lama berselang waktu, Hiap Shin menikah dengan warga lokal dan memulai kehidupan barunya dengan melahirkan anak-anak mereka. Mereka melahirkan tujuh generasi yang sampai sekarang masih menempati rumah tersebut.
Pada masa itu sosok Tjhia Hiap Shin terkenal akan kekayaannya dan kejayaannya, ia selalu berinteraksi dengan para investor-investor luar daerah Indonesia dan Kalimantan.
Ketika Hiap Shin wafat karena sakit yang dideritanya, setiap anaknya mendapatkan warisan yang sama rata. Mereka pun menjadi suatu keluarga besar yang ada di Singkawang. Sampai sekarang tempat yang dulunya adalah sebuah armada kapal kini menjadi rumah yang paling tua di Singkawang. Rumah itu dikenal dengan nama Rumah Tua di Kawasan Tradisional atau juga disebut dengan Rumah Keluarga Tjhia dan menjadi suatu ikon yang ada di pusat Kota Singkawang.
Begitulah kisah bagaimana rumah keluarga Tjhia terbangun hingga sekarang. Rumah itu menjadi saksi akan kisah perjalanan hidup seorang Tjhia Hiap Shin serta ke tujuh generasinya.
Bahkan, ada warga mereka yang menetap di Kalimantan karena kehidupan perekonomian yang mereka anggap terjamin. Setelah tiba di Pulau Kalimantan, ia menuju Singkawang yang merupakan salah satu pusat jalur perdagangan pada masa itu. Di sana ia berbisnis dan mencari tempat tinggal seadanya.
Setelah beberapa waktu berlalu bisnis yang ia geluti kalah oleh harga pasar sehingga akhirnya ia bangkrut. la pun berusaha mencari pekerjaan untuk modal membuka usaha kembali. Namun, sebulan berlalu Hiap Shin belum juga mendapatkan pekerjaan. Pada suatu hari ia berkeliling Kota Singkawang dengan maksud untuk mencari pekerjaan seperti biasanya.
Selama tiga hari ia mencari pekerjaan, tetapi hanya rasa kecewa yang ia dapatkan. Dengan langkah gontai ia berjalan dan terus berjalan sampai suatu ketika ia terkejut dengan suara teriakan yang memanggilnya dengan nama panggilan kesehariannya.
“Shin… oi… Shin… kha hi Shin...,” teriak seseorang sambil setengah berlari menuju tempat Hiap Shin berdiri. Hiap Shin pun menoleh ke belakangnya mencari sumber panggilan tersebut.
Hiap Shin berkata, “Oh Afhui.. Thomae na?” Saat mengenali orang yang telah memanggil namanya, orang tersebut berpakaian cukup rapi memakai sepatu yang necis, rambutnya mengkilap karena minyak rambut, dan berbau wangi yang berasal dari parfum mahal. Tampaknya ia sangat memperhatikan dan menjaga penampilannya, yang pasti orang tersebut tidak berpakaian seperti dirinya.
“lya ini aku, kamu apa kabar? Aku takut tadi aku salah orang, ternyata benar ini kamu,” kata orang tersebut.
“Aku baik-baik saja, Fhui. Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Hiap Shin.
“Justru aku yang harusnya bertanya. Kenapa kau bisa ada di sini?” Afhui balik bertanya.
“A…a…aku cuma….,” Hiap Shin tergagap.
“Kau mencari pekerjaan ya?” tanya Afhui spontan, ia berusaha menebak apa yang sedang temannya itu lakukan.
“Huf, iya Fhui. Aku sedang mencari pekerjaan sekarang ,tetapi aku selalu saja ditolak,” jawab Hiap Shin dengan nada murung.
“Ah, kau ini kenapa tidak bilang-bilang dulu. Sudahlah, Mari ikut aku!” ajak Afhui sembari menarik tangan Hiap Shin.
“Kita mau kemana?” tanya Hiap Shin bingung.
“Kau mau pekerjaan bukan?” tanya Afhui lagi.
“Tentu saja aku mau,” jawab Hiap Shin.
“Kalau begitu kau ikut aku, akan aku kenalkan dengan seseorang yang akan mempekerjakanmu,” kata Afhui menerangkan maksudnya.
Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah toko sembako, tempat berniaga para pedagang untuk memasarkan barang dagangan mereka. Keadaan di toko sembako tersebut terlihat begitu hiruk pikuk dikarenakan para pekerja yang terlihat begitu sibuk lalu lalang, ada yang sedang menimbang beras dan tepung, ada yang sibuk membersihkan tempat dedag (makanan unggas), dan banyak pekerjaan lainnya.
Semua pekerjaan itu terlihat sangat melelahkan dan menyibukkan. Namun, ia melihat seorang pria paruh baya yang terlihat begitu tenang sambil menghisap rokok yang berada ditangannya. Pria tersebut terlihat begitu santai sambil sesekali memerintah para pekerjanya.
“Nah, sekarang sudah sampai, ayo!” Afhui mengagetkan dan menarik tangan Hiap Shin yang terkesima melihat kesibukan di toko sembako tersebut, menuju pria tua yang sedang asyik mengamati.
“Halo Kho, apa kabar?” sapa Afhui ramah kepada pria tersebut.
“Oh Afhui, ada apa kamu di sini?” tanya pria tua itu.
“Ini Kho saya bawa teman saya, katanya dia mau cari kerja, Kho,” jawab Afhui.
“Oh..mau kerja? Ada…ada, kamu siapa punya nama?” tanya pria tua tersebut dengan tutur bahasa Indonesia yang terbolak-balik.
“S…s..saya Kho? Saya punya nama Hiap Shin, Kho, Tjhia Hiap Shin,” jawab Hiap Shin dengan nada gugup bercampur girang karena diterima kerja.
“CLHiap Shin a,,,, panggil saya Koh Akhiong, tapi orang-orang di sini panggil saya Khokho,” jelas Kho Akhiong.
“lya Kho…,” jawab Hiap Shin dengan nada riang.
“Jadi Kho, kapan dia bisa mulai kerja?” tanya Afhui kepada Kho Akhiong.
“Dia bisa kapan mulai kerja? Saya bisa kapan saja,” jawab Kho Akhiong.
“Kalau mulai hari ini saya juga bisa, Kho,” jawab Hiap Shin.
“Oke… sekarang kamu pindahkan itu barang ke gerobak yang di ujung sana,” perintah Kho Akhiong tanpa basa basi.
“Baik, Kho,” jawab Hiap Shin menyanggupi dengan semangatnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB sudah waktunya makan siang bagi para pekerja. Para pekerja langsung beristirahat dan sibuk melahap santapan makan siang mereka. Namun, Hiap Shin tidak ikut makan siang karena ia tak membawa uang sepeser pun. la berpikir mencari cara untuk menenangkan cacing-cacing yang ada diperutnya saat ini.
“Hei!!” tiba-tiba seseorang berteriak mengagetkan Hiap Shin. Seketika ia mencari dari mana sumber suara itu dilihatnya seorang pria yang melambai padanya ternyata pria yang berteriak padanya adalah Kho Akhiong.
“CLKho,” tersenyum Hiap Shin mengetahuinya.
“Sini..sini,” panggil Kho Akhiong sambil melambai memanggil dirinya.
“lya, Kho. Ada apa Kho,” jawab Hiap Shin penasaran sembari menghampiri Kho Akhiong.
“Kamu sudah makan? Kalau kamu belum makan, makan sama saya saja,” Kho Akhiong menawarkan makanan, karena melihat Hiap Shin yang teriihat celingak-celinguk saat makan siang.
“O..iya Kho,” jawab Hiap Shin tanpa basa basi ia tak tahan lagi menenangkan cacing-cacing di perutnya yang meminta hak mereka.
“Kamu berasal dari mana?” tanya Kho Akhiong saat makan di meja makan.
“Dari Beijing, Kho,” jawab Hiap Shin sambil asyik melahap makanannya.
“Kenapa kamu mau ke Kalimantan kalau kamu juga pada akhirnya jadi buruh di sini?” tanya Kho Akhiong.
“Saya pada awalnya ingin berdagang Kho, tapi apa boleh buat namanya juga nasib,” jawab Hiap Shin.
“HAHAHA !!” tawa Kho Akhiong pecah setelah mendengar jawaban lugu dari pekerja barunya itu.
“Hek, Uhuk..Uhuk..Uhuk…”Spontan Hiap Shin tersedak mendengar tawa bosnya tersebut, ia terheran-heran akan perilaku bosnya tersebut. Salahkah aku menjawabnya? Kenapa ia tertawa? pitor Hiap Shin.
“Kamu sebut itu nasib? Hei, nasib itu tergantung dirimu sendiri,” ujar Kho Akhiong.
“Maksud Khokho ?” tanya Hiap Shin bingung dengan pernyataan bosnya itu.
“Nasib itu bisa kau ubah, Shin. Tidak ada yang tidak bisa diubah selama dirimu itu mau berubah,” kata Kho Akhiong menasehati.
“Saya menyerah, saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Kho. Saya datang ke Kalimantan ini hanya untuk berdagang pada awalnya, tetapi ternyata barang yang saya perdagangkan kalah saing dengan barang-barang yang ada di pasaran. Dan akhirnya saya bangkrut, saya pengangguran, mencari pekerjaan, dan akhir cerita di sinilah saya berada di hadapan anda, Kho,” jelas Hiap Shin menceritakan pengalaman hidupnya.
“Malang sekali dirimu, tapi ingatlah selalu ini nasihat untukmu, nasib dan takdir itu memang ditentukan oleh Tuhan, Shin. Tetapi, kita manusia harus berusaha dan terus berusaha jangan sampai suatu masalah itu menjadi penghalang yang membuatmu tak berdaya kamu bisa mengubah itu semua selagi kamu mau melakukannya,” kata Kho Akhiong ke pada orang yang sedang patah semangat itu.
“Baiklah, Kho. Terima kasih aku akan selalu mengingatnya,” ucap Hiap Shin.
“Oke, sekarang kamu kerjalah,” kata Kho Akhiong menyuruhnya.
“Baik Kho. Terima kasih juga atas makanannya,” ucap Hiap Shin menutupi pembicaraan.
Pagi yang cerah untuk mengawali aktivitas yang istimewa. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, sudah berselang satu tahun dari hari pertama ia bekerja di Toko Sembako Kho Akhiong. Kho Akhiong pun semakin hari semakin baik dan percaya akan pengabdian Hiap Shin terhadap dirinya.
Namun, dibalik rasa simpati dan kepercayaan yang diberikan oleh Kho Akhiong terhadap Hiap Shin, ada rasa iri dari salah seorang pegawainya yang merasa kalau ia lebih pantas diberi kepercayaan oleh Kho Akhiong. Karena ia lebih lama bekerja dan mengabdi kepada Kho Akhiong bukannya Hiap Shin. Dengan adanya rasa iri yang dimilikinya ia berusaha untuk berbuat jahat terhadap Hiap Shin.
“Shin ei… Shin. Nyi lay Shin, kamu tolong antar ini bawang ke Pasar Hongkong,” perintah Kho Akhiong kepada Hiap Shin ketika Kho Akhiong mendapatkan pesanan untuk diantarkan.
“Ho..Kho..Ngai Thit…” jawab Hiap Shin dalam bahasa Haka.
“Ingat; jangan lupa!” teriak Khokho dari dalam toko.
Ketika Hiap Shin bersiap-siap untuk berangkat dan sedang mengangkut karung goni berisikan bawang, bisik-bisik antar pekerja pun terjadi antara Chi Liong dan Aphin.
“Coba lihat itu, makin besar saja kepala anak itu,” kata Aphin, pekerja di toko itu yang juga tidak menyukai sikap Kho Akhiong yang akhir-akhir ini memberikan kepercayaan yang lebih kepada Hiap Shin.
“Lalu kenapa kalian harus repot-repot dengan masalah yang belum tentu ada untungnya untukmu?” tanya salah seorang lagi yang merasa risih dengan pembicaraan itu.
“Heh!! Diam sajalah kau!!” bentak Chi Liong kepada orang itu. Tersentak kaget pekerja tersebut karena bentakan dari Chi Liong.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Aphin kepada Chi Liong.
“Kita lihat saja nanti apa yang bisa kita lakukan.”kata Chi Liong penuh misteri seakan ingin melakukan sesuatu yang tidak baik kepada Hiap Shin.
Jadwal makan siang sudah tiba, saatnya mengisi perut agar cacing-cacing di perut tidak berdemo. Saat semua pekerja yang lain sedang asyik menyantap makanan mereka di luar toko. Seorang pegawai mengendap-endap dan mendekati makanan yang berada di atas meja makan sambil menaburkan sebotol bubuk diatas makanan tersebut. Sekilas bubuk tersebut terlihat seperti tepung yang sepertinya bukanlah tepung. Setelah menabur bubuk itu, ia pun tergesa-gesa pergi.
Selang beberapa waktu Hiap Shin datang dan bersiap-siap untuk menyantap makanan yang berada di atas meja. Tetapi, ada suara yang memanggil namanya sehingga ia pun menunda untuk menyantap makanannya tersebut.
Saat Hiap Shin pergi untuk menyelesaikan beberapa urusannya, seekor kucing datang menghampiri makan siangnya itu dan melahapnya tanpa mengetahui apa yang ada di dalam makanan tersebut Seketika kucing tersebut kejang-kejang lalu akhirnya mati di samping makan siangnya.
Ketika Hiap Shin kembali ia terkejut melihat ada seekor kucing yang mati dengan mulut berbuih di samping makan siangnya. la merasa kaget, heran, dan bingung sekaligus bersyukur karena ia tidak jadi memakan makan siangnya yang ternyata beracun. Namun, ia merasa heran,” siapa yang tega melakukan ini terhadapnya?” pikir Hiap Shin.
“Huaaah capeknya,” keluh Hiap Shin kepada dirinya sendiri.
“Hei Shin..!!” tersentak kaget Hiap Shin karena teriakan itu.
“Oh…Chi Liong, ada apa? Kenapa pake teriak-teriak? Ngai punya telinga e,” kata Hiap Shin memprotes tingkah Chi Liong.
Sembari menutup pintu Chi Liong mendekati Hiap Shin. Hiap Shin terheran-heran karena tingkah laku Chi Liong. Apa mungkin dia yang meracuni makananku? Terbesit di dalam pitoran Hiap Shin akan orang yang meracuni makanannya. Namun, Chi Liong semakin mendekat dan melihat dirinya dengan mata yang terlihat begitu menyeramkan.
“Kau sedang apa?” tanya Hiap Shin dengan nada takut Secara tiba-tiba Chi Liong mengacungkan sebuah pisau dan mengayunkan pisau ke arah Hiap Shin dengan membabi buta,berusaha untuk mengenai tubuh Hiap Shin.
“Hei! Chi Liong berhenti!! Apa kau sudah gila?” teriak Hiap Shin.
“lya…Aku memang sudah gila, ini semua karena dirimu!!”
“Apa salahku kepadamu? Aku tak pernah mencari masalah dengan dirimu!!” Jelas Hiap Shin dengan nada gemetar dan was-was karena takut akan kemarahan Chi Liong yang membabi buta.
“AAAhhhhh…!! Banyak mulut kau!!”
Chi Liong terus berusaha untuk menusuk Hiap Shin karena ia beranggapan bahwa Hiap Shin lah yang menyebabkan dirinya tersisihkan. Akibat kedatangannya ,dirinya menjadi turun di mata Kho Akhiong. Kho Akhiong tidak lagi menaruh kepercayaan kepada dirinya.
Namun, semakin keras ia berusaha untuk membunuh Hiap Shin semakin hilang pula akal sehat yang ia miliki. Hiap Shin berlari keluar untuk menghindari serangan Chi Liong, melihat kejadian kejar-kejaran itu, para pekerja merasa terheran-heran dan berusaha membantu Hiap Shin lepas dari kejaran Chi Liong yang membabi buta, membutuhkan waktu yang lama untuk menenangkannya.
Setelah Chi Liong menjadi tenang. Kho Akhiong yang mendengar berita tersebut menjadi murka dan langsung memecat Chi Liong tanpa ada uang pesangon sama sekali. la tak menyangka bahwa ada di antara anak buahnya yang berani bertindak seanarkis itu. Kho Akhiong kembali mengingat peristiwa ketika Chi Liong mendapatkan kepercayaannya, tetapi kepercayaan itu disalahgunakan olehnya.
Di malam yang larut hujan turun begitu lebatnya bersama tiupan angin yang begitu dingin hingga siap membuat tubuh menggigil. Saat itu, Kho Akhiong sedang berjalan kaki menyusuri jalan di pasar untuk pulang ke rumahnya menggunakan mantel dan payung untuk menghindari dari guyuran hujan. Seketika Kho Akhiong merasa terkejut melihat seorang pemuda terkulai tak berdaya di depan rumahnya dengan beberapa luka lebam di sekitar tubuh dan wajahnya. Kho Akhiong merasa iba dan menolongnya.
Setelah sebulan ia berada di rumah Kho Akhiong, pemuda itu mendapatkan kepercayaan dari Kho Akhiong. Kho Akhiong merasa bahwa pemuda tersebut bisa dipercaya karena ia telah menunjukkan beberapa tindakan terima kasihnya kepada Kho Akhiong. Pemuda itu menjaga tokonya di saat Kho Akhiong tidak dapat menjaga toko, membersihkan alat-alat berniaganya, dan membantunya dalam segala hal yang bisa ia kerjakan.
Kho Akhiong mempercayainya menjaga toko selagi Kho Akhiong pergi keluar kota. Namun, suatu saat Kho Akhiong pulang lebih cepat dari rencananya, ia tersentak kaget melihat tokonya terbengkalai tak tentu arah, yang terlihat hanya sebuah tempat yang sangat kacau dan tidak terlihat seorang pembeli pun.
“Apa yang kau lakukan selama aku pergi?” tanya Kho Akhiong kepada Chi Liong yang hanya diam mematung.
“Jawab aku Chi Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap tokoku? Apa kau ingin membuat tempatku ini menjadi sarang kerbau?” tanya Kho Akhiong lagi menuntut penjelasan.
“A…a.. aku hanya…” jawab Chi Liong tergagap ketakutan.
“Kenapa berhenti? Cepat jelaskan!!” bentak Khokho.
“Ini semua terjadi karena, sebelum aku berada di sini aku banyak dililit hutang dan aku tidak mampu untuk membayarnya. Tadi para rentenir itu menemukan keberadaanku dan menagih semua hutang itu, tetapi aku tidak bisa membayarnya, lalu…” Chi Liong diam sejenak karena gemetar.
“Lalu apa?”
“Lalu…mereka mengacak-acak tempat ini dan mengambil semua uang yang ada, tapi aku sudah berusaha untuk mencegahnya,” jelas Chi Liong membela diri. Namun, Kho Akhiong hanya diam tak bergeming.
“Aku minta maaf Kho, aku tak bermaksud untuk membuat dirimu bangkrut atau apapun itu. Aku sama sekali tak bermaksud, Kho,”ujar Chi Liong mengharap belas kasihan Kho Akhiong.
Kho Akhiong menarik nafas sejenak untuk mengatur emosinya.
“Baiklah…sebagai gantinya, kau harus bekerja di sini untuk melunasi semua kerugian yang aku alami.” Tanpa berkata banyak lagi Kho Akhiong pergi tanpa menghiraukan keberadaan Chi Liong.
Lamunan Kho Akhiong buyar setelah seseorang menepak pundaknya. la tahu bahwa Chi Liong tidak bisa berbuat apa-apa karena ini semua terjadi karena kecerobohan Chi Liong sendiri yang terlalu mengikuti amarahnya. Chi Liong pun hanya bisa menerima dengan rasa bersalah dan penuh penyesalan.
Waktu pun semakin berlalu dari tahun ke tahun. Karena sudah merasa mapan akan hidupnya, Hiap Shin lalu membangun sebuah armada kapal yang merupakan tempat persinggahan dan berlabuh para awak kapal dan para pedagang untuk melakukan distribusi maupun sebagai tempat pangkalan kapal pengantar atau angkutan umum untuk wilayah perairan.
Dengan dibangunnya armada kapal ini, Hiap Shin semakin berjaya dalam dunia perekonomian khususnya di wilayah Singkawang dan sekitamya. Kemudian ia membangun rumahnya di atas armada tersebut.
“Aaduuh…Shin, makin hebat saja kau ini,” kata Afhui kagum akan kesuksesan Hiap Shin.
“Ah..tidak juga, Fhui. Kamu bisa saja, aku seperti ini juga berkat dirimu, kalau kamu tidak mengenalkanku kepada Kho Akhiong aku akan selalu menjadi pecundang seperti dulu,” Hiap Shin merasa berbangga diberi pujian oleh sahabat yang telah membantunya.
“Lalu? apa kau tidak mau mentraktirku?” kata Afhui dengan nada bercanda, tetapi berharap.
“Tentu aku akan mentraktir sahabat yang baik sepertimu,” jawab Hiap Shin menyenangkan hati Afhui.
“Serius?” kata Afhui tak percaya.
“Tentu, aku sangat serius, nan, apa yang kau ingin kan?”
“Oke, bagaimana kalau kita mengajak Kho Akhiong juga?” usul Chi Lioang.
“Kenapa tidak, ayo kita ajak,” sahut Hiap Shin antusias.
Maka pergilah mereka berdua menuju toko Kho Akhiong. Sesampainya disana mereka mengajak Khokho untuk makan bersama di restaurant masakan Cina yang terkenal pada masa itu.
Setibanya mereka di depan restaurant masakan Cina, tercium harumnya masakan Cina yang siap membuat lambung bergoyang-goyang karena tergoda untuk melahapnya. Mereka memesan beberapa porsi makanan dan menghabiskan sebotol minuman sambil berbincang-bincang sampai lupa waktu.
Tidak lama berselang waktu, Hiap Shin menikah dengan warga lokal dan memulai kehidupan barunya dengan melahirkan anak-anak mereka. Mereka melahirkan tujuh generasi yang sampai sekarang masih menempati rumah tersebut.
Pada masa itu sosok Tjhia Hiap Shin terkenal akan kekayaannya dan kejayaannya, ia selalu berinteraksi dengan para investor-investor luar daerah Indonesia dan Kalimantan.
Ketika Hiap Shin wafat karena sakit yang dideritanya, setiap anaknya mendapatkan warisan yang sama rata. Mereka pun menjadi suatu keluarga besar yang ada di Singkawang. Sampai sekarang tempat yang dulunya adalah sebuah armada kapal kini menjadi rumah yang paling tua di Singkawang. Rumah itu dikenal dengan nama Rumah Tua di Kawasan Tradisional atau juga disebut dengan Rumah Keluarga Tjhia dan menjadi suatu ikon yang ada di pusat Kota Singkawang.
Begitulah kisah bagaimana rumah keluarga Tjhia terbangun hingga sekarang. Rumah itu menjadi saksi akan kisah perjalanan hidup seorang Tjhia Hiap Shin serta ke tujuh generasinya.
Rumah Keluarga Tjhia memiliki bentuk bangunan khas Tiongkok Utara (Si he yuan) dan bangunan ala kombinasi timur barat ini satu-satunya yang tertua dan masih berdiri kokoh di Kota Singkawang. Keberadaan bangunan sejarah tersebut juga menjadi bukti nyata sekaligus saksi bisu bahwa leluhur orang Tionghoa juga berperan dalam membangun negara ini dengan susah payah, bergotong-royong dan gigih tanpa pamrih.
Catatan: Cerita ini bersumber dari salah satu cucu pendiri rumah tua Tjhia yang telah dipublikasikan lewat buku “Kisah Rumah Keluarga Tjhia di Singkawang”, buku tersebut dapat di baca di Ruang Deposit, Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat. Ayo ke Perpustakaan !!!
wah ceritanya keren ay, aku pingin loh bisa ke singkawang
BalasHapusPas moment perayaan Cap Go Meh aja ke singkawang mbak... Rame dan meriah ...... dtgu kedatangannya
HapusPerpustakaan Singkawang ada di mana saja ya?
BalasHapusApakah kita menyewa buku atau boleh baca gratis? Atau harus membeli?
Tolong hapus fotonya. Itu bajakan dari sini. Saya pemotretnya.
BalasHapushttps://www.peladangkata.com/2015/06/paduan-timur-barat-di-lorong-singkawang.html
Cerita itu hasil dari karangan saya, Saya Fifi penulis cerita ini, dgn judul buku "Antologi Kisah Rumah Marga Tjhia Di Singkawang"
BalasHapus