Mengenal Lebih Dekat Dayak Selakau di Kalimantan Barat

misterpangalayo.com - Suku bangsa yang ada di Kalimantan Barat terikat oleh kesamaan geografis, budaya, kebiasaan, bahasa, adat istiadat hingga leluhur yang sama. Sehingga suku bangsa merupakan kesatuan sosial yang berkaitan dengan kesadaran akan kesatuan budaya, kesatuan bahasa dan wilayah geografis. Tak heran apabila suku dan masyarakat adat yang ada di Bumi Khatulistiwa sangat beragam terutama Suku Dayak yang terkenal akan keberagaman bahasa dan budayanya.

Dayak Salako Kalimantan Barat
SG: instagram/officialbujangdaragawaikalbar

Dayak Salako a.k.a Dayak Selakau, Kanayatn Salako, Selako merupakan salah satu subsuku Dayak yang tanah asalnya berada di aliran Sungai Selakau (Sunge Salako), tepatnya di Bukit Selindung (Bukit Sarinakng) Kecamatan Selakau Kabupaten Sambas. Saat era Pemerintahan Hindia Belanda Orang Salako juga disebut dengan Orang Bukit (Dayak Bukit) terutama yang bermukin di Bukit Pelanjau (Tebas), Pak Mangkat (Pemangkat), Salako Tuha (Selakau Tua) dan sekitarnya. 

7 Rumpun Besar Dayak di Pulau Kalimantan / Borneo

Dayak Salako masuk dalam rumpun besar Dayak Klemantan (Dayak Darat) yang tersebar di Kalimantan Barat dan Sarawak. Namun secara linguistik, Dayak Salako juga masuk dalam kategori Dayak Malayik (Dayak berbahasa Melayu) yang juga dituturkan oleh Iban, Sambas, Banjar, Ngabang, Keninjal, Berau, Meratus, Kanayatn, hingga Kedayan Brunei. Bahasa Salako terbagi menjadi 3 (tiga) dialek utama yaitu Badamea, Bajare', dan Badameo. Bahasa Sambas juga dipercaya merupakan cabang atau turunan dari Bahasa Salako yang telah mengalami perubahan dan asimilasi bahasa terutama bahasa Iban dan serapan dari bahasa malayik lainnya (*perlu pengkajian ilmu linguistik lebih lanjut).

Menilik sejarah awal pola migrasi Dayak di pesisir Sambas, nenek moyang Dayak Salako migrasi ke Kalimantan Barat memasuki muara Sungai Sambas Besar dan Sungai Selakau. Kemungkinan yang menyusuri Sungai Sambas Besar dan percabangannya melahirkan suku yang berbahasa Bakati, sedangkan yang menyusuri Sungai Selakau dan percabangannya melahirkan suku berbahasa Salako. Sehingga nantinya migrasi selanjutnya, kedua suku ini bertemu di sekitaran Gunung Bawang saat era Kerajaan Bawang Dayak Bakati.

Ramin Bantang - Rumah Adat Dayak Bakati
SG: instagram/sitimustiani

Leluhur dayak yang memasuki muara Sungai Sambas Besar membangun peradaban di kawasan Bukit Senujuh hingga keturunannya mendirikan Kerajaan Nek Riuh, sedangkan yang memasuki muara Sungai Selakau membangun peradaban awal di kawasan Bukit Selindung. Konon, pada saat itu kawasan Bukit Selindung (Bukit Sarinakng) merupakan kawasan pantai dan kemudian terjadi fenomena alam timbulnya dataran baru hingga kini kawasan tersebut di sebut Salako Muda (Selakau Muda), kawasan Pasar Selakau saat ini.

Kini masyarakat yang mendiami Bukit Selindung sudah mengalami Islamisasi sehingga masyarakat Salako menyebut dirinya Melayu Selakau (juga secara umum disebut dalam rumpun Suku Sambas/Melayu Sambas). Walaupun sudah mengadopsi budaya Melayu, orang Salako di kawasan Bukit Sarinakng (Selindung) dan Pulo Nangko masih mempertahankan bahasa dan beberapa adat lawasnya seperti Besamsam, Tapung Tawar, dan Nungas Taon (Syukuran Awal Panen Padi). 

Komunitas Dayak Salako di Keraton Sambas - 1893

Selain itu, di kawasan tersebut masih ditemukan sisa-sisa peradaban Orang Salako Tua seperti tempat pemujaan (orang tempatan menyebutnya Padagi/Panyugu) yang sudah terbengkalai, pohon-pohon tua seperti asam Kalimantan, pecahan-pecahan keramik yang tersebar di lokasi bekas rumah bantang, tepian mandi dan tempat keramat lainnya. 

Ditambah lagi, lokasi tersebut ditemukan sebuah Nekara pada tahun 1991 menunjukkan persamaan dengan Nekara yang ditemukan di Dongson (Vietnam). Diperkirakan Nekara tersebut dibuat pada abad ke-6 hingga ke-3 SM (era kebudayaan Dongson atau kebudayaan perunggu). Nekara digunakan sebagai perlengkapan upacara kesuburan tanah atau upacara pertanian oleh keturunan Bangsa Austronesia (termasuk Dayak Salako yang diperkirakan membawa Nekara saat migrasi ke tanah Kalimantan tempo dulu). Kini, nekara tersebut bisa dilihat langsung di Museum Provinsi Kalimantan Barat.

Nekara Perunggu - Museum Kalimantan Barat

McKinnon (1991) menyatakan bahwa:

“Finds of sherds of coarse ‘prehistoric’ paddlemarked and basket-impressed earthenware in and around an area of white sand at the foot of Bukit Selindung maybe an indication of an early settlement in the area, though not necessarily one with any connection with the drums – the criteria for such a settlement site would appear to be met – an area of firm dry land upstream from the coast but with riverine access to the sea, with a source of potable water (the stream from the hill) and at one time an abundance of building materials and food resources – estuarine fish, shell fish and other equatic life.”

Dayak Salako (termasuk Dayak Kanayatn) - Migran dari Bukit Selindung

Penyebaran orang Kalimantan tempo dulu dapat ditelusuri melalui aliran sungai. Hal ini dimungkinkan aliran sungai menjadi jalur transportasi utama pada zamannya. Earld, pedagang dari Singapura yang berkunjung pada sebuah koloni Cina di pantai barat Borneo tahun 1834 mengatakan, untuk masuk kepedalaman, mereka harus melalui sungai yang membentang luas dan dalam. Sungai-sungai tersebut bercabang-cabang (J.B.Wolters;1918;3). Dalam perjalanannya, Earld bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu bulat di Sungai Sambas Besar dan Sungai Selakau.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Simon Takdir (antropolog Dayak Salako) bahwa Orang Dayak Kanayatn (keturunan Bakati) dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau Kendayan Tua. Hingga keturunan Dayak yang di hilir Sungai Sambas migrasi ke hulu Sungai hingga sampai area Ledo, Seluas, Sanggau Ledo, hingga Bengkayang dan sekitarnya.

Gunung Senujuh dari kejauhan 
SG: instagram/erawatii31

Keturunan Dayak di Kawasan Gunung Senujuh (Dayak Bakati) yang tidak migrasi ke hulu sungai Sambas telah memeluk Islam dan tidak serta merta membuang adat lawasnya karena keturunannya masih mempratekkan kebiasaan peninggalan leluhurnya. Dayak Bakati yang telah menjadi Melayu tersebar di kampung-kampung sekitaran Gunung Senujuh (Pulau Peranggi, Semanga, Senujuh, Sendoyan, Sajingan Kecil, Mak Lebar dan sekitarnya.

Beralih ke kawasan Bukit Sarinakng Selakau, penyebaran keturunan Dayak Salako dilakukan secara berkelompok dan bergelombang dalam waktu yang cukup lama. Mereka menyusuri hulu sungai selakau dan percabangannya yang berhulu di Gunung Bawang hingga ke daerah Pakana (Kabupaten Landak), ada juga yang menyusuri hulu Sungai Sebangkau, memasuki muara Sungai Sambas Besar yang kemudian keturunan ini yang masih bermukim di kawasan Sajingan Besar dan Sarawak (Benua Poe).

Andara Salako

Setelah beberapa lama komunitas Dayak Salako tinggal di Sarinakng dan Pulo Nangko, akhirnya beberapa orang dalam kelompok kecil berusaha untuk mencari daerah baru dengan menyusuri perhuluan sungai. Alasan migrasi tersebut karena beberapa hal seperti atas kemauan sendiri, lokasi berladang, hingga konflik internal dalam komunitas. Penulis mencoba menjabarkan perjalanan atau penyebaran Keturunan Dayak Salako menjadi 5 (lima) kelompok migrasi.

Kelompok pertama memasuki Sungai Sebangkau hingga perhuluanya dan akhirnya membangun rumah bantang pertama di Bukit Paranyo (Bukit Pelanjau Tebas). Setelah beberapa generasi tinggal di Pelanjau, akhirnya sebagian kecil dari kelompok tersebut meneruskan perjalanan ke arah Bukit Gajah yang dipimpin oleh Nek Mangkat dan kemudian daerah tersebut dinamai Pak Mangkat (Pemangkat). 

Pantak Nek Jago di Pelanjau - Tebas

Kini, kawasan Pelanjau masih berdiri rumah bantang dan masyarakat Salako masih menjaga adat dan tradisi serta bahasa ibu (Bahasa Salako Badamea). Namun keturunan Salako yang bermukim sepanjang aliran Sungai Sebangkau hingga muara telah masuk Islam dan menamai komunitas mereka sebagai Melayu Sambas, begitu juga di kawasan Pemangkat yang telah berasimilasi dengan pendatang.

FYI, saat berdirinya Kesultanan Sambas dan Kerajaan Mempawah Islam, banyak suku Dayak telah mendapat pengaruh kesultanan baik dari segi budaya maupun kepercayaan. Awalnya jumlah penduduk diwilayah ”kesultanan” masih sangat sedikit, namun seiring dengan semakin banyaknya Orang Salako yang berkonversi menjadi Islam diwilayah kesultanan, disamping migrasi orang Islam dari daerah lain dan melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai ”Melayu” (Iqbal;2004;14).

Mengimbangi islamisasi ini, Pemerintah Belanda memberi kesempatan para misionaris Katolik untuk masuk dan mendirikan sekolah-sekolah di wilayah Orang Salako (Raba, Salako/Selakau, Sabiris/Capkala, Nyarumkop dan dibeberapa tempat lainnya), dan kulminasinya pada paruh kedua abad 21, Orang Salako makin banyak yang justru beralih menjadi Katolik dan Protestan. Berbeda dengan koversi agama sebelumnya, dengan menjadi Kristen, mereka tetap tidak kehilangan identitas etnik awalnya (Moh. Iqbal;2004;16).

Kelompok kedua memasuki muara Sungai Sambas Besar (kemungkinan bergabung dengan komunitas Salako Pemangkat yang lebih dulu mendiami muara Sungai Sambas Besar) menyusuri hulu Sungai Sambas dan akhirnya mengarah ke Sungai Bantanan. Dari Sungai Bantanan, kelompok ini membangun bantang pertama di kawasan Tabing Dayak (17 kilometer dari Kota Sekura - Teluk Keramat), kemudian berlanjut bermukim di kawasan Kota Lama (Pasar Galing dan sekitarnya). Dari Kota Lama Galing, kelompok ini terpecah menjadi dua kelompok kecil yaitu menyusuri Sungai Enau dan menetap di Kampung Jaranang, dan kelompok lainnya lanjut menyusuri hulu Sungai dan menetap di Batu Itapm hingga saat ini. 

Dokumentasi Belanda - Sungai Sambas Besar

Sekelompok kecil keturunan Salako di Batu Itamp melakukan perjalanan hingga menyebar ke daerah Sarawak (Malaysia) dan menempati beberapa kampung yang kemudian mempunyai wilayah adat sendiri yakni Benua Poe yang terdiri dari Kampung Rukapm, Biawak, Paon, dan lain-lain. Sedangkan keturunan Salako yang bermukim di Tabing Dayak (Sekura), Kota Lama (Galing), dan Kampung Jaranang telah mendapat pengaruh Islam hingga mereka disebut Suku Sambas / Melayu Sambas. Hal ini diperkuat sejumlah informan tua (usia 70 tahun) didaerah ini walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang Darat, bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat.

Kelompok ketiga merupakan keturunan Salako yang masih bertahan di Bukit Sarinakng dan akhirnya migrasi menyusuri hulu Sungai Selakau hingga percabangannya di Sungai Sangokng dan keturunan ini yang tersebar di kawasan Singkawang Timur. Selanjutnya Kelompok keempat ada yang terus mudik dan naik di Timawokng Abo’ dan pindah ke Puaje (jembatan dekat simpang Menterado). Keturunan ini masih menggunakan bahasa Badamea/Badameo. 

Dayak Kanayan/Dayak Bukit 

Kelompok keempat masih dari keturunan Salako yang bertahan di Bukit Sarinakng kembali melakukan migrasi besar-besaran menyusuri hulu Sungai Selakau yang berhulu di Bukit Bawang hingga akhirnya membangun bantang di daerah Lao (Serukam). Kelompok kelima merupakan keturunan dari Salako Serukam menyebar ke daerah Sawak, Gajekng, Gado’, Pakana dan sekitarnya. Dari keturunan Salako yang bermukim di Pakana yang kemudian mengembangan orang Dayak yang berbahasa Baahe dan Banana’ (karena satu dan lain hal keturunan Dayak berbahasa Baahe dan Banana bergabung dalam adat Dayak Kanayatn).

Di masa lalu, Pakana menjadi pusat penyebaran Islam di tanah Dayak sehingga Dayak Salako yang bertahan telah memeluk Islam dan keturunan lainnya yang tidak menerima Islam kemudian kembali menyusuri Sungai Mempawah hingga ke Karangan, Menjalin, Takong, Toho dan Sangkikng (Sadaniang). Perpindahan orang-orang Salako di Sarinakng dan Pulo Nangko yang terus berlanjut hingga akhirnya bantang bukit Sarinakng menjadi kosong (tembawang) dan yang bertahan telah menjadi Melayu. Namun, suku Dayak Salako di Binuo Garantukng Sakawokng dan Binuo Sango Sakawokng masih tetap mengingat asal-usul nenek moyang mereka dari tempat tersebut.

Berdasarkan pola migrasi awal Bangsa Austronesia ke Kalimantan Barat (Jalur Sungai Selakau dan Sungai Sambas Besar), melahirkan beberapa kelompok Sub Suku Dayak berdasarkan tutur linguistik yaitu (Kristianus Atok,2008:8) :

  • Dayak Mempawah - Bahasa Baahe Dialek Karimawatn Sakayu
  • Dayak Bukit - Bahasa Baahe Diale Sengah Temila
  • Dayak Banyuke - Bahasa Banana', Banyadu
  • Dayak Landak - Bahasa Balangin dan Bampape
  • Dayak Salako - Bahasa Badamea/Badameo/Bajare
  • Dayak Bakati - Bahasa Bakati / Rara

Hal diatas menjelaskan bahwa penutur bahasa diatas merupakan serumpun dan memiliki leluhur yang sama yang berasal dari Bukit Sarinakng (terutama Dayak Kanayatn dan Dayak Salako). Sehingga saat ini, secara kolektif mereka mengidentifikasi diri ke dalam 3 kelompok masyarakat Adat yaitu : Dayak Kanayatan (Dayak Mempawah, Bukit, Banyuke, Landak), Dayak Salako (Badamea, Badameo, Bajare'), dan Dayak Bakati'. 

Untuk mempertegas kelompok ini dapat dilihat dari penyelenggaraan adat pesta padi, orang Kanayatn dan orang Salako menyelenggarakan Naik Dango sedangkan orang Bakati’/Banyadu’ menyelenggarakan Maka’dio. Kedua acara adat ini sesungguhnya memiliki prosesi, makna dan nilai-nilai religius yang sama. Penyebutan yang banyak ini menurut penulis karena pada masa lalu komunikasi belum berjalan baik.

Ritual Adat Dayak Salako

  • Babuakng Sia

Babuakng Sia adalah salah satu bentuk khitanan dalam komunitas Selako, praktik ini dipandang (oleh masyarakat Selako) sebagai ritual keagamaan dan tradisi budaya asli. Merupakan kewajiban bagi laki-laki Selako (terutama pada masa anak-anak dan remaja), dan tidak wajib bagi perempuan. Sebelum prosesi dimulai, ada beberapa hal (alias sesaji) yang harus disediakan oleh keluarga, seperti enyekng (babi), manok (ayam), gula pasir , kopi, minyak goreng, dan lain sebagainya.

  • Ngabayotn

Ngabayotn merupakan upacara tahunan yang diadakan masyarakat Selako pada periode akhir tahun. Ritual ini dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan rasa syukur khususnya atas hasil panen padi kepada masyarakat Selako. Upacara adat Ngayotn dilaksanakan setelah masa panen padi yang artinya masyarakat setempat akan memulai kembali tahun pertanian dengan membuka ladang baru yang biasanya ditandai dengan ritual Sam-sam . Ngabayotn terdiri dari tiga bagian ritual; yaitu Nurutni' , Nyangohotn , Matekng dan diiringi pertunjukan tari Narokng.


Ciri Khas Kebiasaan atau Budaya Dayak Salako Tuha, antara lain :

  • Tidak suka minum susu pada waktu makan.
  • Gemar makan ikan yang dibusukan (jaruk dan bonto’).
  • Mempunyai adat memotong kepala (bakayo) seperti bangsa Kuki, Naga dan Garo di pegunungan Assam.
  • Suka melapis gigi dengan emas (angkero/sunggi’).
  • Tinggal di rumah barak yang terdiri dari pelbagai keluarga (bantang).
  • Rumah-rumah didirikan di atas tiang, bukan karena tanahnya becek.
  • Pelubangan daun telinga yang terlalu lebar (jarang dilakukan oleh kaum priya, namun secara umum oleh kau wanita saja). Lubang lebar itu sebagai akibat dari beban buah anting-anting yang berat serta lamanya beban itu pada daun telinga. Perempuan Salako yang lubang daun telinganya besar terjuntai ke bawah yang terakhir saya saksikan adalah Nek Kudian orang Sarinokng yang pindah ke Bagak.
  • Suami termasuk dalam keluarga istri (dalam masyarkat Salako antara saudara dan kerabat pihak istri dan suami menggunakan kata sapaan isotn/ise’/isatn, dan antara orang tua serta kerabat dari kedua belah pihak menggunakan kata sapaan imat).
  • Menyapa suami dan istri dengan nama anaknya yang tertua (parapo’otn).
  • Dalam menghitung menggunakan kata bilangan bantu seperti ekor, orang, belah dan sebagainya.


Dirik Sabaya ....


Sumber Referensi Tulisan :

http://simontakdir.blogspot.com/2012/07/v-behaviorurldefaultvmlo_08.html . Diakses pada 18 Juni 2024.

D. Achmad & M. Zaini.AR. Perkembangan Kabupaten Sambas dan Sejarahnya. Singkawang, 1989. 

Dunselman Ofm. Cap., Donatus. Bijdrage Yot De Kennis Van De Taal En Adat Der Kendayan-DajaksVanWest-Borneo. 

http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/08/merekonstruksi-identitas-orang-salako.html. Diakses pada 18 Juni 2024.

Andasputra, Niko et. al. “Orang Kanayatnkah atau Orang Bukit ?”. Dalam Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak : IDRD, 1997.

Gubernur Hadiri Adat Narokng Padi Ngabayotn Sanagari [ Gubernur Kalbar Menghadiri Prosesi Narokng Padi Ngabayotn Sanagari ] (Bahasa Indonesia), Singkawang : Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Republik Indonesia, 2022

Tidak ada komentar:

Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : raditmananta@gmail.com
+Twitter : @raditmananta

Tata Tertib Berkomentar di blog misterpangalayo:

1. Gunakan Gaya Tulisan yang Biasa-biasa Saja
2. Tidak Melakukan Komentar yang Sama Disetiap Postingan
3. Berkomentar Mengandung Unsur Sara Tidak di Anjurkan

Diberdayakan oleh Blogger.